Tentu harus ada tolak ukur keberhasilan dalam kepemimpinan, baik ukuran dalam berdemokrasi, bidang pendidikan, budaya maupun ekonomi.
Saya tolak ukurannya tentu memakai data-data ekonomi. Di periode awal Jokowi memimpin itu SUDAH GAGAL, lha kok masih dipilih maneh.
Acapkali pemerintah bilang, “Kondisi perekonomian sangat baik, pembangunan sudah tepat dan berhasil.”
Faktanya era Jokowi memimpin periode pertama, LEBIH BURUK dari dua era pemerintahan sebelumnya. Lantas apa bukti dari fakta tersebut? Butuh bukti, ini beberapa faktanya:
Pertama, oligarki mendominasi ekonomi di era Jokowi. Indonesia menempati urutan ketujuh dalam indeks kapitalisme. Kekayaan para miliarder yang mempunyai hubungan erat dengan penguasa (politik) melonjak. Oligarki ekonomi makin mempengaruhi dinamika politik dan beberapa industri besar cenderung mengandalkan rente
Kedua, jumlah penduduk miskin September 2018 sebanyak 25,67 juta orang atau 9,66% dari jumlah penduduk. Penurunan kemiskinan selama Era Jokowi sangat biasa; Berkurang sebanyak 2,06 juta (1,30%) selama 4 tahun, lebih rendah dibanding era sebelumnya. Sebagian penurunan karena penduduk miskin meninggal dunia.
Ketiga, angka Pengangguran dan jumlah penganggur memang turun, namun laju penurunan lebih rendah dibanding era sebelumnya. Tingkat pengangguran hanya berkurang 0,60% dan jumlah penganggur berkurang 244.905 orang selama 4 tahun.
Keempat, keuangan Pemerintah makin mengalami kesulitan. Rata-rata defisit era Jokowi (2015-2019): 2,23%. Sedangkan pada era SBY-JK (2005 – 2009): 0,80%; Era SBY-Boediono (2010-2014): 1,58%.
Inilah tolak ukurnya, tentu harus ada pembanding. Kesimpulannya Jokowi tidak layak menjadi presiden berikutnya. Begitu juga era periode kedua, ekonomi Indonesa makin memburuk, berjanji pertumbuhan ekonomi 7% aja selalau gagal.
Tapi namanya pendukung, masyarakat maupun rakyat Negeri Sebelah kan memiliki penilaian sendiri.
Karena ini Mimbar Curhat, maka saya akan curhat bahwasanya penilaian itu sesuatu yang tampak. Misalnya, memang benar pemerintah mampu mengurangi pengangguran dan kemiskinan, namun kan tidak sebanding apa yang dikeluarkan.
Contoh seperti Anda ini, ketika ingin punya rumah namun tidak memiliki uang untuk membeli rumah kan bisa berhutang dengan cara kredit baik dengan jenjang lima sampai lima belas tahun sesuai kemampuan.
Maka orang lain akan menilai Anda mampu ‘membangun rumah’ meski dengan cara berhutang.
Itulah yang terjadi sekarang, oleh karena itu ini tips juga bagi calon pemimpin, “Bangunlah.” ‘Membangun fisik, maksudnya.’ Bukan, “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya.”