Oleh: Syaiful Rozak
Pada 09 Desember lalu, Pilkada serentak 2020 telah dilaksanakan. Dalam Pilkada ini setidaknya mencakup 9 Provinsi dan 161 kabupaten atau kota.
Pilkada tahun ini ada sedikit yang berbeda, yaitu dilaksanakan ditengah pandemi covid 19. Meskipun terdapat beberapa masukan dari unsur masyarakat dan ormas untuk ditunda, namun dengan berbagai perimbangan pemerintah tetap kekeh untuk melaksanakannya.
Dalam demokrasi, pilkada adalah pesta rakyat. Hari dimana rakyat bersenang-senang untuk memilih calon pemimpin. Pelaksanaan pilkada memang harus menyenangkan rakyatnya. Jadi siapapun yang menang pada dasarnya adalah kemenangan rakyat. Kemenagan pilkada untuk mewujudkan harapan-harapan rakyat.
Meskipun dalam demokrasi itu menempatkan bahwa setiap manusia memiliki hak yang sama dalam politik untuk memilih dan dipilih, namun dalam pelaksanaannya, cara berdemokrasi selalu menguntungkan bagi mereka yang kuat secara ekonomi.
Hanya mereka yang kuat secara ekonomilah yang dapat bersaing dalam panggung politik semacam pilkada atau pemilihan legislatif. Melalui kekuatan dana yang besar para pemilih itu bisa dipengaruhi. Disisi yang lain rakyat juga masih sangat terpengaruh oleh iming-iming bantuan, sembako ataupun uang dalam menentukan pilihannya.
Ongkos demokasi dalam politik menjadi demikian mahal, sementara rakyat tidak telalu peduli dengan rekam-jejak, visi-misi ataupun program dari para calon. Siapa memiliki modal besar, dialah yang berpeluang menang.
Dalam situasi demikian bisa saja dimanfaatkan oleh politisi nakal untuk bermain mata dengan pemilik pemodal. Politisi membutuhkan dana untuk kampanye, sementara pemilik modal berkepentingan untuk mendapat dukungan dan kebijakan yang menguntungkan dirinya. Dalam hubungan tersebut ada timbal-balik yang saling menguntungkan satu sama lain. Maka terjadilah perselingkuhan antara politisi dengan pemilik modal. Dan buah dari perselingkuhan ini bisa jadi adalah korupsi.
Rawan Korupsi
Per tanggal 10 Juli 2019, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mencatat ada 114 kepala daerah yang tersandung kasus korupsi. Gubernur ada 7 kasus, bupati 74 kasus dan walikota ada 23 kasus.
Data diatas menunjukkan bahwa kasus korupsi di Indonesia masih terbilang tinggi. Terlebih data tersebut diluar unsur polri, DPR, kementerian ataupun kepala dinas yang juga relatif tinggi. Banyaknya kasus korupsi yang menjerat kepala daerah bisa dilihat mulai dari sistem pemilu, integritas calon maupun dari hukuman korupsi.
Jika dilihat dari aspek sistem pemilu yang ada, itu masih memungkinkan adanya calon kepala daerah yang didanai oleh pemilik modal. Dan ini sangat rentan terjadinya praktek korupsi. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron, dalam kajian KPK pernah mengatakan ada 82 persen calon kepala daerah didanai oleh sponsor bukan didanai pribadinya. Artinya potensi adanya korupsi oleh kepala daerah itu sangat tinggi.
Perselingkuhan antara politisi dengan pemilik modal bisa menjadi pintu masuk terjadinya praktek korupsi. Mahalnya ongkos politik menyebabkan calon kepala daerah tidak punya pilihan lain selain menggandeng pemilik modal.
Akibatnya kepala daerah yang terpilih tersandera oleh kepentingan pemilik modal. Mereka para pemilik modal bisa dengan mudah mempengaruhi kebijakan kepala daerah. Dalam situasi tersebut, sangat rawan terjadinya praktik korupsi, suap-menyuap ataupun produk kebijakan yang hanya menguntungkan sekelompok golongan pemilik modal.
Syaiful Rozak, Mahasiswa Hukum Universitas Muhammadiyah Kudus