Oleh : Mohammad Arif P
TELAAH singkat geopolitik, tema alias agenda global sudah berubah alias berganti. Bila pasca Perang Dingin (Cold War), isu yang mengemuka ialah non-state actor (aktor non-negara), kini isu bergeser kembali ke state actor. Ya. Aktor negara kembali berperan lagi seperti era sebelum Cold War.
Apa indikatornya?
Pertama, persaingan antara uang digital versus bitcoin (crytocurrency) dimenangkan oleh uang digital (digital currency). Jelas. Bitcoin hanya berbasis jaringan dan komunitas semata, sedang basis digital currency ialah Bank Sentral yang seyogianya berjamin emas;
Kedua, Alibaba-nya Jack Ma dipecah-pecah menjadi beberapa perusahaan kecil, lalu dijadikan ‘BUMN’ oleh China;
Ketiga, kecenderungan menguatnya hubungan bilateral daripada multilateral pada satu sisi. Ada upaya dan geliat aktor negara mulai mencampakkan US Dollar dalam transaksi global.
Sementara di sisi lain, peran lembaga internasional dan ‘rezim petrodollar’ mulai menurun akibat konflik Ukraina, khususnya efek perang sanksi antara Rusia versus Barat.
Hal lain, bahwa gencarnya penggunaan mata uang masing-masing negara (local currency) dalam transaksi ekonomi bilateral tanpa konversi terlebih dulu ke US Dollar selaku world currency merupakan pertanda turunnya hegemoni Paman Sam. Fakta ini tak boleh dipungkiri.
Ketika tiba-tiba ada peristiwa alias muncul skenario (geo) politik di publik menggunakan isu terorisme misalnya, atau ISIS, lone wolf ketiganya non-state actor maka dirasa janggal. Kenapa?
Karena isu non-state actor adalah password usang. Kadaluwarsa alias nyaris tak dipakai lagi pada konstelasi geopolitik. Kalau pun dipaksakan, seperti ‘menstruasi’ sesaat dan tak bakal meluas.
Terlokalisir secara alami. Artinya, si perumus skenario (man behind the scene) kurang update. Ketinggalan zaman. Mengapa demikian, sebab aktor non-negara sudah digantikan kembali oleh aktor negara.