Scroll untuk baca artikel
Blog

Pola Pemberangusan Suara Kritis dan Pelemahan Masyarakat Sipil

Redaksi
×

Pola Pemberangusan Suara Kritis dan Pelemahan Masyarakat Sipil

Sebarkan artikel ini

Barisan.co – “Secara global, demokrasi memang tengah mengalami kemunduran,” ujar Dr Wijayanto, Akademisi Universitas Diponegoro Semarang, pada Webinar LP3ES bertajuk Pola Pemberangusan Suara Kritis dan Pelemahan Masyarakat Sipil, Minggu (18/10/2020).

“Bisa dibaca dari berbagai temuan studi selama lima tahun terakhir seperti Authoritarian Turn (Power, 2018, title), Democratic Recession (Aspinall and Mietzner,2019a), dan Global Democratic Recession (Larry Diamond,2020) sebagai contoh. Gejala yang tampak salah satunya adalah justru pemimpin yang terpilih secara demokratis dan populis, secara perlahan memberangus oposisi dan kekuatan lain yang melakukan kritisisme.”

Pada Webinar yang dihadiri para akademisi, pemerhati politik dan jurnalis tersebut Wijayanto juga menyitir bahwa gejala kemunduran demokrasi mirip dengan yang terjadi di Indonesia pada akhir-akhir ini.

“Terdapat pola pelemahan masyarakat sipil dan pembungkaman suara-suara kritis di masyarakat yang ditandai dengan, pertama, adanya pasukan siber dan propaganda komputasi. Kedua, adanya teror siber dan peretasan media sosial. Ketiga, adanya kekerasan dan penangkapan terhadap aktivis. Keempat, terjadinya kooptasi mahasiswa dan pelajar dan kelima, adanya kekerasan terhadap jurnalis,” sambung Wijayanto, yang juga Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES.

Pasukan siber dan propaganda komputasi tercatat pernah digunakan pada hari-hari sebelum disahkannya RUU KPK menjadi Undang-undang (UU). Terdapat lonjakan tidak wajar dari setengah juta twitt yang mendukung RUU KPK disahkan menjadi UU (DroneEmprit,2019). Antara 10-17 September 2019 percakapan didominasi oleh akun-akun yang setuju revisi UU KPK.

“Pada kasus UU Omnibus Law, narasi mendukung RUU Ciptaker justru dimotori oleh akun buzzerRp seperti @digeembokFC dengan pola percakapan unorganik,” lanjut Wijayanto.  

Pada kasus teror siber dan peretasan akun medsos, terdapat teror terhadap para akademisi yang menentang revisi UU KPK yang mendapat puluhan telepon dari berbagai negara. Hal tersebut menyebabkan para akademisi mengeluh dan memilih mundur dari grup-grup Whatsapp yang mengkritisi rencana revisi UU KPK.

Demikian pula yang terjadi pada para pegiat kritis UU Ciptaker yang juga mengalami peretasan, penyadapan dan kloning akun atau nomor HP, yang tiba-tiba digunakan untuk menyebarkan ajakan demo rusuh.

“Kasus-kasus penangkapan para aktivis, tekanan terhadap akademisi dan rektor di kampus serta intimidasi dan kekerasan kepada para mahasiswa dan pelajar yang melakukan aksi protes, juga kekerasan terhadap jurnalis adalah gejala dan pola dari pelemahan masyarakat sipil dan pemberangusan suara kritis masyarakat, yang menjadi indikasi dari menguatnya otoriterisme dan pelemahan demokrasi” ujar kata Wijayanto.

Prof Dr Didik J Rachbini, pakar ekonomi politik LP3ES yang juga menjadi pembicara menyatakan bahwa LP3ES pada Juni 2020 telah memberikan catatan tersendiri tentang gejala kembalinya otoriterisme dan pelemahan demokrasi di Indonesia.

“Berdasarkan kriteria-kriteria ilmu politik, Indonesia sudah menciptakan negara yang otoriter dengan indikasi Pertama, Adanya pemberangusan lawan politik, Kedua, Pembatasan kebebasan sipil melalui UU ITE yang memberangus kebebasan berpikir para aktivis pejuang demokrasi, Ketiga, Kekerasan ditoleransi, dan Keempat, Komitmen terhadap demokrasi lemah dan dilanggar,” papar Didik J Rachbini.

“Ironi yang muncul adalah, ternyata demokrasi dapat juga melahirkan pemimpin yang otoriter dan memberangus lawan politik, memborgol para pemikir kritis dan memperlakukan mereka seperti kriminal. Padahal mereka melakukan kritik dengan cara-cara demokratis sebagai pelaksanaan fungsi check and balance dalam demokrasi. Pemimpin yang memberangus lawan politik seperti itu adalah pemimpin yang jahat,” tandas Didik J Rachbini lagi.