Prof Dr Didik J Rachbini, pakar ekonomi politik LP3ES yang juga menjadi pembicara menyatakan bahwa LP3ES pada Juni 2020 telah memberikan catatan tersendiri tentang gejala kembalinya otoriterisme dan pelemahan demokrasi di Indonesia.
“Berdasarkan kriteria-kriteria ilmu politik, Indonesia sudah menciptakan negara yang otoriter dengan indikasi Pertama, Adanya pemberangusan lawan politik, Kedua, Pembatasan kebebasan sipil melalui UU ITE yang memberangus kebebasan berpikir para aktivis pejuang demokrasi, Ketiga, Kekerasan ditoleransi, dan Keempat, Komitmen terhadap demokrasi lemah dan dilanggar,” papar Didik J Rachbini.
“Ironi yang muncul adalah, ternyata demokrasi dapat juga melahirkan pemimpin yang otoriter dan memberangus lawan politik, memborgol para pemikir kritis dan memperlakukan mereka seperti kriminal. Padahal mereka melakukan kritik dengan cara-cara demokratis sebagai pelaksanaan fungsi check and balance dalam demokrasi. Pemimpin yang memberangus lawan politik seperti itu adalah pemimpin yang jahat,” tandas Didik J Rachbini lagi.
Sementara Associate LP3ES Tomi Satryatomo menyatakan, dalam analisa LP3ES Media Analytic, percakapan dan pemberitaan tentang isu RUU Ciptaker dan parpol-parpol pro vs kontra RUU Ciptaker pada 03–13 Oktober 2020 diketahui amat minim terjadinya dialog antara kubu yang pro dan kontra RUU Ciptaker.
Di lapangan, dalam manifestasinya kubu pro RUU Ciptaker hampir tidak pernah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan dari kubu kontra RUU Ciptaker tentang apa urgensi dari RUU tersebut, mengapa tergesa-gesa sekali disahkan padahal sedang terdapat wabah Covid-19 yang perlu penanganan amat serius, tidak dilibatkannya pihak-pihak yang terdampak oleh RUU serta cacat prosedural. Sementara kubu pro hanya berkutat pada persoalan investasi dan tudingan hoaks.
Temuan menarik lainnya, pada klaster pro RUU Ciptaker yang terdepan dalam melakukan narasi pembelaan justru dari para influencer akun buzzer seperti akun @dennysiregar7, @Ch_Chotimah, @Pencerah dan lain-lain. Hampir tak terlihat munculnya akun-akun tokoh pemerintah dan tokoh politik pendukung RUU.
Pemerintah sendiri terlihat hampir tidak melakukan komunikasi dan pendidikan politik, ada konferensi pers, tetapi problemnya pemerintah baru memproduksi komunikasi yang hanya menyentuh output saja. Belum terdapat cukup upaya persuasi untuk mengubah persepsi.
Amat berbeda dengan klaster kontra RUU Ciptaker, yang dalam komunikasi publik dan pendidikan politiknya didominiasi oleh akademisi (Pukat UGM), media (CNN Indonesia, Tirto ID dan lain-lain) dan politisi (Agus Yudhoyono, HNW). (Pso)