POLITIK identitas bagi saya istilah yang kurang pas, dan tidak dipahami oleh masyarakat luas. Pengertiannya jadi sekadar, apa agamamu — sukumu, rasmu, yang kemudian mengarah pada SARA.
Secara politik penamaan itu ditujukan kepada orang atau pihak yang mementingkan SARA sebagai ‘identitas’.
Sejak orde baru sikap perilaku berpolitik seperti itu dilarang oleh pemerintah. Karena akibat yang ditimbulkannya bisa memecah-belah persatuan berbangsa dan kesatuan bernegara.
Partai Ummat (PU) Amien Rais, justru mensyahkan politik identitas sebagai langkah politiknya. Bahkan, PU mensyahkan melakukan kampanye di mesjid-mesjid. Diktumnya, berpolitik tidak bisa dipisahkan dari agama.
Pemikiran itu saya kira benar adanya. Sebab, di jaman Nabi pun masjid digunakan juga untuk mengatur strategi perang. Terutama sikap pikiran, bahwa agama adalah dasar untuk mengatur seluruh hidup manusia, termasuk dalam berpolitik.
Muhammad Sobari juga di sisi ini membenarkan. Hanya persoalannya, ungkap Sobari, sudah siapkah masyarakat membijaksanai politik. Atau dasar keutamaan dalam menyikapi kejumbuhan antara politik dan agama.
Bagi saya batasan kebijaksanaan itu bukan pada yang diistilahkan sebagai politik identitas. Sebab jika yang dikuatirkan Sobari itu tidak jumbuh, yang terjadi bukan sekadar sikap politik identitas, tapi perilaku politikisasi agama.
Bagaimana agama kemudian dijadikan sekadar alat politik. Bahwa agama bukan (sekadar) alat, melainkan ada keutamaan yang mesti diugemi. Ialah kesahihan agama sebagai nilai dan institusi. Sebagai kekuatan, yang setara dengan politik, ekonomi, budaya.
Jadi, sekali lagi, ketika satu sektor kehidupan itu hanya sebagai alat dari institusi lain, maka yang terjadi justru perendahan atas nilai dan institusi sektor itu — dalam hal ini, agama.
Kata kuncinya adalah, alat itu perendahan, yang akibatnya akan berlangsung de-humanisasi, de-moralisasi, de-strukturalisasi.
Ingat, kala Lekra|PKI meneriakkan diktum sastra sebagai alat politik. De-strukturalisasi yang terjadi dipuncaki oleh pembelahan ideologi. Pertentangan yang dipuncaki pertarungan politik, dan berpuncak pada peristiwa politik berdarah 1965.
Bisa dibayangkan, jika yang terjadi bukan sekadar politik identitas, tapi politikisasi agama. Atau praktisnya, ketika agama dijadikan sebagai sekadar alat (politik).
Terlebih andai, politikisasi agama itu didasari oleh kolonialisasi-feodalisasi atas agama.*