Scroll untuk baca artikel
Blog

Politik Keris Empu Gandring

Redaksi
×

Politik Keris Empu Gandring

Sebarkan artikel ini
Mata Budaya (8)

Keris sebagai karya budaya berubah menjadi alat membunuh terjadi pada era kerajaan Singasari. Bayangkan pada abad berapa nenek-moyang kita menemukan besi (mulia + meteor) untuk membuat keris.

Mengapa mereka tidak membuat benda produksi paku dll, tapi mencipta karya budaya bernama keris.

Itulah dimulainya politik kebudayaan di nusa-antara. Akan tetapi karya budaya itu kemudian diubah oleh Ken Arok menjadi sekadar alat. Keris menjadi panglima.

Ingat — PKI yang menjadikan politik sebagai panglima. Kemudian sekarang, politik reformasi menjadikan hukum sebagai panglima. Sesungguhnyalah, Ken Arok, seorang penyamun pada jamannya, ingin menjadikan dirinya sebagai panglima.

Ken Arok memesan keris kepada Empu (Budayawan) Gandring. Kemudian dengan alasan karya budaya itu belum sempurna, Arok menikam mati sang budayawan. Boleh dikatakan di sinilah mula kematian kebudayaan di era Singasari. Apa akibatnya?

Dengan keris Empu Gandring yang ditahbiskan sebagai kepanglimaan dirinya, Ken Arok membunuh raja berkuasa Tunggul Ametung. Kemudian Ken Arok dibunuh oleh Anusapati.

Demikian, hingga tujuh elite Singhasari mati di luk lekuk keris Empu Gandring, sebagai penahbisan politik sebagai panglima. Ingat sesanti Renne Descartes: politik is vuil (politik adalah kotor).

Ingat pula peristiwa politik 1965, yang memakan ribuan korban nyawa dan berakhir dengan kemenangan politik otoriterian orde baru.

Ditilik dengan kondisi politik sekarang, di era reformasi, politik di era Singasari itulah sebenarnya sejelas-jelasnya politik. Bagaimana Ken Arok ingin berkuasa, Tunggul Ametung dibunuh lalu Arok berkuasa. Kemudian Anusapati ingin berkuasa, Ken Arok dibunuh, Anusapati pun berkuasa. Demikian seterusnya.

Nah, sekarang di era modern atau milenial, apa yang terjadi. Intrik dua kubu terus berlangsung atasnama masing-masing klaim kebenaran. Hoax yang hakikatnya saling fitnah dengan racun kebencian terjadi dengan alasan pembunuhan karakter.

Entah sampai kapan kondisi penuh fitnah dengan kebencian merasuki anak-cucu terus berlangsung.

Padahal Nabi Besar Muhammad SAW pernah berkata: fitnah lebih kejam dari pembunuhan.***