Mata Budaya (8)
Dunia maya alias gadget bin jagad on line menyimpan banyak soal baru. Terutama yang bersifat pribadi. Bagaimana tidak. Dengan sekeping ponsel kita bisa masuk ke ruang-ruang paling privat.
Setiap akun tampaknya dengan mudah wajib memiliki kekasih maya tanpa batas ruang dan waktu, bahkan status diri. Bahkan dengan mudah pula, seorang akun pindah ke lain hati, walau sempat lanjut di alam off line.
Penyakit sakit hati pun makin berseliweran, tak pandang di era pandemi oleh virus paling mematikan, Corona alias Covid-19. Akan tetapi seorang psikolog sekali pun akan memandang wajar selagi sakit hati masih ada dalam kisaran personae.
Akan jadi aneh kalau penyakit akut sakit hati, parah hati (bukan sekadar patah hati), merasuk juga dalam dunia politik. Satu jagad yang menurut Renne Descartes, politik is vuil, politik itu kotor bin kejam.
Dalam dunia politik mesti realistis, logic, kalau perlu kejam, bahkan halal membunuh sesama manusia dalam politik perang. Seorang politikus sejati tidak boleh baperan, lebay, serupa insan yang mudah mengalami broken heart.
Demikianlah, jika anda seorang politikus sekali saja curhat walau secara daring, anda akan dicap garing: baperan dan lebay. Apalagi anda seorang bos parpol bintang lima (tidak hanya hotel saja bintang lima).
Hukuman bagi si lebay akan lebih sadis. Sebab anda akan berhadapan dengan para buzzer atau influencer yang berondongan hujatannya lebih gencar dari M-16. Kalau tidak kuat iman dan mental, anda akan kena koroner atau stroke yang lebih sadis dari jatuh atau tumbang plus tertimpa tangga Covid.
Anda mesti kongkrit menyikapi mahluk politik itu. Apa yang sebenarnya terjadi, saat parpol yang Anda pimpin terjadi silang sengkarut tak-tik (baca: praktik politik). Sekali pun kepemimpinan Anda terancam tergusur oleh kegaduhan internal.
Ingat, Julius Caesar dalam ajal terkejut pada detik ia tahu yang membunuhnya adalah orang terdekatnya sendiri. Ya, dialog Caesar yang terkenal itu: mengapa engkau wahai Brutus?
Brutus-Brutus lanjut bisa beralasan: imperia ini bukan milikmu. Atau di jagad modern: parpol ini bukan milikmu, wahai Jendral. Bahkan kau telah memberikan kekuasaanmu terhadap si Mayor, anak kandungmu.
Hingga sampai pada dialog pungkas: partai politik ini milik kami semua kader dengan aturan yang sudah kita sepakati bersama.
O, andai “Caesar” tersadar oleh adagium itu…***