Scroll untuk baca artikel
Blog

Direktur LP3ES: Terdapat Predikat Buruk Demokrasi di Indonesia

Redaksi
×

Direktur LP3ES: Terdapat Predikat Buruk Demokrasi di Indonesia

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Direktur LP3ES, Fajar Nursahid mengatakan terdapat predikat buruk dari perkembangan demokrasi di Indonesia yang tercermin dari berbagai peringkat indeks demokrasi global. The Economist mencatat terjadinya kualitas demokrasi terburuk dalam 14 tahun terakhir.

“Indeks demokrasi domestik juga menyuarakan hal sama yakni kebebasan sipil dan berekspresi yang rendah, tekanan terhadap aspirasi masyarakat, intimidasi ketika berbeda pendapat yang lalu dilaporkan ke aparat berwajib,” terangnya pada Diskusi Catatan Akhir Tahun 2021 Bidang Politik, Media dan Demokrasi Twitter Space Forum Ekonomi Politik Didik J Rachbini, Minggu (12/12/2021)

Safenet juga mencatat pelaporan terhadap ekspresi warga masyarakat di dunia digital tinggi sekali. Sampai akhir tahun 2000-an terdapat 2000 lebih kasus pelaporan terhadap warga yang 40% ekspresinya dianggap provokatif.

Menurut Fajar perburukan 14 tahun terakhir ini dengan skor indeks yang turun dari 6,3 menjadi 6,48 mencerminkan tingkat demokrasi yang cacat. Parlemen juga sudah dikuasai oleh 82% anggota parlemen yang pro pada kekuasaan sehingga fungsi check and balances anggaran menjadi lumpuh.

“Sampai dengan September 2021 tercatat lebih dari 120 orang diperkarakan. Hal itu terjadi persis setelah lahirnya polisi siber atau polisi virtual. Contoh yang terjadi ketika seorang mahasiswa Yogyakarta harus meminta maaf karena mengkritik Walikota Solo Gibran di internet,” imbuhnya.

Direktur Center for Media and Democracy, LP3ES, Wijayanto menyampaikan secara umum, kondisi demokrasi di Indonesia masih sama bahkan semakin parah dibandingkan masa sebelumnya.

“Terjadi kemunduran demokrasi dan putar balik ke arah otoriterisme,” lanjutnya.

Menurut Wijayanto terdapat empat indikator yang menjadi ciri kematian demokrasi sebagai diteorikan oleh dua orang professor Harvard (Daniel Ziblatt  dan Steven Levistky, 2018) antara lain:

Pertama, diabaikannya aturan main demokratis. Wacana presiden 3 periode masih hidup dan dipertahankan hingga hari ini. Ia merefleksikan hasrat untuk mengingkari aturan main demokratis. Lalu alotnya penentuan tanggal pemilu karena diintervensi untuk tarik ulur kepentingan status quoa dan bukan berdasarkan pertimbangan feasibilitas pemilu.

Kedua, absen atau diberangusnya lawan politik (oposisi). Hal ini tampak misalnya dengan KLB partai demokrat yang merupakan rekayasa politik dari kekuatan dalam lingkaran istana yang kemudian dianulir sendiri oleh Menteri hukum dan HAM setelah ada protes kuat dari masyarakat sipil.

Ketiga, toleransi atau anjuran untuk penggunaan kekerasan. YLBHI mencatat terjadi banyak peristiwa kekerasan dalam pembebasan lahan dalam berbagai proyek pembangunan infrastruktur.

Keempat, terberangusnya kebebasan sipil termasuk media. Hal ini tampak jelas pada kebangkitan otoriterisme digital yang semakin nyata hari-hari ini.

“Dalam hal ini, otoriterisme digital didefinisikan sebagai penggunaan teknologi digital untuk mengawasi, merepresi dan memanipulasi warga negara (Scott, 2021),” terang Wijayanto. (Luk)