Scroll untuk baca artikel
Opini

Prognosis APBN 2021 dan PEN di Tengah Pandemi Covid-19

Redaksi
×

Prognosis APBN 2021 dan PEN di Tengah Pandemi Covid-19

Sebarkan artikel ini

Pertumbuhan sektor pertanian banyak dipengaruhi oleh pergeseran masa panen raya tanaman pangan yang tahun lalu jatuh pada Maret menjadi April dan Mei pada 2020 ini.

Sebaliknya, akibat kontraksi yang dalam, lapangan usaha transportasi dan pergudangan terkontraksi paling dalam sebesar 29,22 persen, industri 6,49 persen, perdagangan 6,71 persen, konstruksi 7,37 persen, dan pertambangan 3,75 persen.

Sedangkan menurut sisi pengeluaran, semua komponen mengalami kontraksi. Konsumsi rumah tangga yang memiliki porsi 57,85 persen dari PDB tercatat tumbuh minus 5,51 persen. Pembentukan modal tetap bruto (PMTB) juga mengalami kontraksi sebesar minus 8,61 persen, dengan seluruh komponen terkontraksi.

Sementara itu, konsumsi pemerintah terkontraksi 6,90 persen. kontraksi konsumsi pemerintah terjadi untuk penurunan realisasi belanja barang dan jasa, belanja pegawai turun, dan bansos masih naik 55,87 persen.

Selain itu, ekspor barang dan jasa terkontraksi 11,66 persen. Impor barang dan jasa terkontraksi 16,96 persen, dengan rincian impor barang terkontraksi 12,99 persen dan impor jasa terkontraksi 41,36 persen.

Realisasi PEN

Pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi sangat dalam tidak terlepas dari realisasi PEN yang masih rendah, yakni baru 21,8 persen. Menurut data, hingga 6 Agustus 2020, realisasi PEN baru mencapai Rp151,25 triliun dari pagu sebesar Rp695,2 triliun.

Realisasi Rp151,25 triliun itu terdiri dari dana bidang kesehatan Rp7,1 triliun, perlindungan sosial Rp86,5 triliun, sektoral K/L dan Pemda Rp8,6 triliun, dukungan UMKM Rp32,5 triliun, insentif usaha Rp16,6 triliun, dan pembiayaan korporasi yang belum terealisasi.

Lebih detail, anggaran bidang kesehatan dengan alokasi Rp87,55 triliun, realisasinya baru Rp7,1 triliun. Realisasi tersebut mencakup insentif kesehatan pusat dan daerah senilai Rp1,8 triliun, santunan kematian 54 tenaga kesehatan Rp16,2 miliar, dana Gugus Tugas Covid-19 Rp3,2 triliun, serta insentif bea masuk dan PPN kesehatan Rp2,1 triliun.

Sementara untuk program perlindungan sosial dengan alokasi Rp203,91 triliun, realisasinya baru mencapai Rp86,45 triliun. Realisasi tersebut mencakup program PKH Rp26,6 triliun, Kartu Sembako Rp25,8 triliun, bantuan sembako Jabodetabek Rp3,2 triliun, bantuan tunai non-Jabodetabek Rp16,5 triliun, Kartu Prakerja Rp2,4 triliun, diskon listrik Rp3,1 triliun, serta BLT Dana Desa Rp8,8 triliun.

Rendahnya realisasi PEN telah menyulut kemarahan Presiden Jokowi yang menganggap para menterinya tidak bekerja dalam semangat menghadapi krisis. Presiden terekam tidak hanya sekali marah. Sudah berkali-kali Presiden kecewa terhadap realisasi PEN.

BLT Karyawan

Rendahnya penyerapan PEN diduga menjadi penyebab Pemerintah mengambil kebijakan memberi bantuan atau subsidi kepada karyawan swasta yang bergaji di bawah Rp5 juta. Besaran subsidinya mencapai Rp600 ribu per orang selama 4 bulan.

Menurut Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, program subsidi tersebut menelan biaya hingga Rp37,7 triliun. Selain itu, Jumlah calon penerima ditingkatkan menjadi 15.7 juta orang yang semula hanya 13,8 juta orang. Program ini ditargetkan mulai berjalan pada bulan September 2020.

Bantuan ini ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Pertama, penerima bantuan terdaftar sebagai BPJS Ketenagakerjaan. Kedua, aktif membayar iuran.

Bantuan subsidi untuk karyawan sebetulnya patut diapresiasi sebagai langkah terobosan. Namun di sisi lain juga harus diwaspadai karena bisa menimbulkan protes oleh sebagian pihak yang menganggap program tersebut sangat diskriminatif dan tidak memenuhi rasa keadilan.