Scroll untuk baca artikel
Blog

Puisi Puasa dan Puisi Idul Fitri

Redaksi
×

Puisi Puasa dan Puisi Idul Fitri

Sebarkan artikel ini

Chairil sebagai manusia eksistensialis justru menganggap diri binatang jalang, bahkan sudah binatang jalang dari kumpulannya yang terbuang pula. Atau dalam puisi yang menggambarkan potret dirinya yang penuh luka: ini muka penuh luka/segala mengental/segala tak ku kenal/selamat tinggal! Itu sebabnya personae post-moderisnisme (posmo) ala Sutardji merespon puisi ‘si binatang jalang’ dengan satu puisi berjudul “Luka” yang hanya berlarik bunyi ketawa: ha ha!

Puisi Sutardji yang lain, yang menggambarkan situasi tragic-comico atau tragis-komis (antara tragedi dan komedi) manusia di tengah arus posmo, ialah puisinya yang berjudul “Pot”, yang hanya berbunyi: pot pot pot… (dst). Tragis-komis manusia yang diwakili penjual pot bunga, yang seakan dalam hidupnya hanya mengenal satu kata: pot!

Tidak hanya penjual pot, di kalangan elite politik pun sering kita jumpai bagaimana mereka lebih menyikapi arti politik sebagai tak-tik. Mereka begitu fasih mengucapkan teori-teori politik, tanpa peduli apakah masyarakat bisa menafsirkan atau tidak. Mereka begitu lihai mempraktekkan hasil pendidikan mereka di Amerika, tanpa peduli apakah itu bisa diterapkan di alam kehidupan rakyat Indonesia atau tidak. ‘Puisi-puisi’ mereka tentang reformasi bertebaran, termasuk ide cemerlan tentang, korupsi, kolusi, nepotisme.

Tapi sejak bergulirnya reformasi hingga kini, rakyat mungkin tidak tahu apa itu reformasi, apa itu kkn. Sehingga tak aneh, rakyat memplesedkan kata reformasi sebagai repot nasi atau lapor mati sesuai kondisi. Memplesedkan kkn menjadi kakeane, sebagai umpatan atas kondisi politik yang menimpa. ‘Puisi-puisi’ politik absurd terus berhamburan, bagaikan puisi puasa bahasa.

Tanpa menyadari hakikat puasa adalah menahan diri, satu puncak etika dan estetika keimanan. Para politikus justru bertaktik dalam puasa puisi, tanpa mengimani bahwa reformasi seperti mencabuti rumput di tengah hutan. Berbeda dengan revolusi yang dilakukan Sekarno, bagai mencabut pohon seakar-akarnya. Mereka sendiri mungkin tidak tahu, bawa korupsi itu mencuri uang rakyat, kolusi adalah menyuruh mencuri uang rakyat, dan nepotisme ialah membagi-bagi hasil pencurian uang rakyat.

* * *

ITU sebabnya kkn terus berlangsung di negeri yang memiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan arti reformasi tak terjelaskan. Berbeda justru di jalam orde lama, saat Bung Karno senantiasa menjelaskan istilah-istilah baru dan konsep-konsep berbangsa dan bernegara. Dari mulai arti revolusi, merdeka/kemerdekaan, weltanschaung (ideologi baru), hingga makna nilai gotong-royong dan institusi Pancasila/UUD 45 sebagai puncak ideologi bangsa dan negara Republik Indonesia.