Di jaman revolusi Chairil Anwar juga membuat ‘puisi puasa puisi’ sebagai kalimat penyemangat dalam mural (lukisan dinding) karya Dullah: Boeng Ayo Boeng! Atau kalimat untuk grafitty (poster/pamplet dinding) para pelukis pejuang: sekali berarti sesudah itu mati. Atau kalimat yang populer hingga kini, yang diambil dari puisi “Aku”: aku ingin hidup seribu tahun lagi…..
Makna puasa sebagai perjuangan menahan diri, hakikatnya penumbuh kesadaran personae keimanan bahwa setiap kejahatan akan dikutuk Sang Maha Pencipta. Sekaligus penyadaran struktural rahmatan lil alamin, bahwa korupsi adalah puncak kejahatan yang menimbulkan kejahatan-kejahatan lain.
Korupsilah yang membuat suami tega menganiaya isteri, seorang ayah kalap menganiaya anak, ibu terpaksa menjual bahkan membuang bayi yang baru dilahirkan. Kekerasan, dekadensi moral, narkoba yang membuat anak-anak muda menjadi narkobawan dan narkobawati. Perampokan yang marak saat pendaftaran sekolah atau kuliah yang berbiaya mencekik leher rakyat, atau musim pencopetan menjelang idul fitri. Karena pencopet dan perampok adalah juga manusia, yang ingin melihat sang isteri dan si anak bahagia bisa melanjurkan sekolah atau ikut merayakan lebaran.
Kejahatan diakibatkan tindak korupsi terus berlangsung, dari kejahatan bunuh diri hingga terorisme. Tak aneh kalau kemudian muncul satu puisi kontekstual-sosial: hanya ada dua dosa di negeri ini, ialah korupsi dan..lain-lain! Dan puisi puasa puisi terus berlahiran, antara lain puisi yang mengingatkan bahwa idul fitri bukan pesta tapi justru kesadaran bersuci diri bahwa manusia akan kembali juga ke Sang Maha Kuasa. Satu puisi Sitor Situmorang berjudul “Malam Lebaran”, yang hanya terdiri dari satu kalimat: bulan di atas kuburan. Atau puisi karya Hamid Jabbar berjudul “Doa Terakhir Seorang Musafir”, yang hanya berisi satu kata pendek: amin.
Video pilihan: