Bahkan dengan sikap kolonial-feodal dia menuding puisi-puisi Martin tidak lebih dari hasil rakitan (kayak bom aja..huhh!), untuk dia tidak menyebut kerajinan tentu. Betapa sembrononya dia sebagai orang yang diklaim sebagai kritikus sastra, tidak melihat bagaimana Martin telah melakukan banyak riset, sosiologi, antropologi, bahkan sampai pada post strukturalisme untuk menulis tiap puisi dengan sosial-historis berbeda. Seperti yang tampak pada puisi penyair Papua (‘Hary Sorendoreri‘), hingga kemungkinan bahasa paling tidak mungkin dari penyair obskur-absurd (‘Incisor Gulagat’). Seperti puisi yang saya tarik ini:
Samkara Bikara
Dubolu owolai murusu
Mimalah ursina sijulai-julai
Kutindu naafi hiluahmana
Usi-usi tonpari yato-yato
“Amalui, Amalui, marani bikara.”
Malebut unim kani bujajah
Dupu rusu bigonjaji kur kur
Karkara muskara owolai
Xilam Trung nah usi-usi
“Amalui, Amalui, marani birkara.”
Samkara bikara
Samkara birkara
Samkara upadi xilam trung nah usi-usi
Toh para penyair linglung itu menahbis bahwa Martin bukan penyair — walau obskur sekalipun — sambil nekad bilang: Martin tidak bisa menjadi penyair..! Sambil diperjelas bahwa bagi mereka, puisi ya semata bahasa ucap (?). Agaknya dari sini dimulainya lirisisme dan eksperimentisme hanya menjadi kelatahan bentuk semata, yang pada gilirannya menciptakan ketunggalan nilai itu (!).
MENGAPA CONTENT mau dilenyapkan dari dunia sastra Indonesia. Menurut saya ada beberapa hal yang melatari, dari sadar atau tidak sadar. Lihat saja, estetika (dhi: keindahan sastrawi) telah disalahpahami sekaligus dijadikan alat atas politik identitas. Termasuk, bahwa kita tidak menyalahkan lirisisme — bisa kuwalat kita oleh mbah-mbahnya puisi liris Emily Dickinson — tapi lirisisme pun telah diperalat untuk mengukuhkan gerombolan mereka di satu nama jalan.
Termasuk syarat-syarat lirik — frasa, diksi, majas, dan pada gilirannya aku-lirik yang populer itu, telah diperalat untuk berpatok-bangkrong pada puisi modus sepi sunyi sendiri. Untuk apa? Supaya puisi tidak bicara apa-apa, bahkan kita dibikin malu untuk menyebut tema G 30 S, reformasi, Corona — ini seperti ada gerakan masif tangan CIA saja rasanya, dan jelas-jelas menimpa kehidupan puisi dan sastra kita.
Sampailah Martin sebagai penyair obskur bertralala dengan penyair kanon. Dia pun sok kanon sebagai penyair kanon — mungkin ini membo-membo paling gampang — (‘Yusrizal‘) yang justru ditolak 100 penyair kanon sebab konon nggak bisa bikin kalimat. Baik, saya tarik dua bait puisinya yang eksentrik, mengingatkan racauan Danyang TBRS Kukuh senior Martin: