Qanaah adalah sikap yang dianjuran Rasulullah Saw untuk merasa puas dan senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang diberikan Allah.
BARISAN.CO – Manusia telah melanjutkan zamannya menjadi manusia modern dengan power ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga sampai kepada the post indrustrial society yakni masyarakat yang secara material telah tiba pada taraf makmur, peralatan terkendali secara otomatis dan mekanis.
Namun membawa kehidupan menuju sifat kematerian atau materialistik. Sehingga wilayah materi menempati posisi yang tinggi, siapa saja memiliki materi semisal harta atau kepemilikan kebendaan ia akan jauh lebih dihormati dari pada ia memiliki pengetahuan atau ilmu. Oleh sebab perilaku modern dengan power ilmu pengetahuan menempatkannya untuk mencari dan bahkan mengeksploitasi kebendaan.
Mengeksploitasi kebendaan pada waktunya menimbulkan pengingkaran kemanusiaan atau dehumanisasi yang berwujud tindakan penguasaan, korupsi, kekerasan dan bahkan saling menyingkiran demi kepentingan. Masyarakat juga mengalami kebendaan, mereka saling memburu komersial, saling berkompetisi yang mengandung unsur eksplosif.
Masyarakat kebendaan membentuk unsur eksposif yakni kebudayaan yang high tension culture, mereka saling berebutan, saling mencari keuntungan dan kepentingan untuk kemewahan material.
Masyarakat mulai menuju kebendaan yang berujung pada mencari kebahagiaan bermateri. Lalu bisa berpangkal pada zaman kedanan, masyarakat mulai mengalami kecemasan, kegelisahan, kebingungan dan pada intinya kebahagiaan batin.
Masyarakat kebendaan secara jasmani tercukupi, namun mereka kekurangan kebutuhan kejiwaan. Dari kekurangan kebutuhan kejiwaan menjadi penyebab ketidakteraturan fungsi kejiwaan seperti sikap jiwa, perasaan, emosi, pandangan dan keyakinan menjalani hidup yang penuh dengan persaingan.
Acara Gambang Syafaat pada hari Jum’at, 25 September 2015, dengan mengambil tema, “Menabung Kerelaan.” Mengajarkan kepada masyarakat kebendaan untuk saling mengisi antara kebutuhan jasmani dan rohani.
Maka ketika berbicara tentang “Kerelaan,” harus mengetahuai “Ketidakrelaan.” Sama halnya ketika berbicara “Kesenangan atau kebaikan,” maka harus mengetahui “Penderitaan atau keburukan.”
Berbicara tentang kerelaan pada acara ini bersinergi dengan hari raya idul qurban, dimana kita diharuskan belajar, “Kerelaan Ibrahim dan Kesabaran Ismail.”
Disini tidak akan membicarakan perbedaan, siapa yang diqurbankan oleh nabi Ibrahim. Menurut Talmud dan Bible yakni kitab suci agama Yahudi dan Kristen mengatakan bahwa putra Ibrahim yang diqurbankan adalah Ishaq. Sedangkan menurut kitab suci agama Islam adalah yang dikurbankan oleh Ibrahim adalah Ismail.
Ibrahim dan istrinya Sarah merupakan simbol masyarakat kebendaan, secara materi ia sudah memiliki kebahagiaan itu. Namun ia merasa belum memiliki kepuasan karena kebahagiaan itu belum tercukupi dengan kehadiran seorang anak.
Sarah pun meminta agar suaminya Ibrahim mengawini budaknya yang bernama Hajar. Dari istri keduanya inilah Ibrahim menerima anugerah kebahagiaan dengan kehadiran anak laki-laki yang bernama Ismail. Sedangkan dari Sarah ia memiliki putra bernama Ishaq.
Namun kebahagiaan itu tidak berujung lama, Allah memerintahkan nabi Ibrahim untuk mengkurbankan anaknya Ismail (QS. Ash-Shaffat/37: 100-113). Didalam surat Ash-Shaffat tersebut tersaji dialog keinginan Ibrahim untuk memiliki anak yang shalih, lalu Allah mengabulkankannya.
Kemudian berlanjut pada mimpi Ibrahim untuk menyembelih anaknya Ismail. Selanjutnya Ibrahim menyampaikan mimpi itu kepada Ismail untuk memberikan komentar dan tanggapan. Dialog Ibrahim dan Ismail mengisyaratkan untuk membuka pikiran dan hati, maka diungkapkan dalam, “falamma balagha ma’ahu sya’ya.” Ayat yang mengindikasikan bahwa Ismail sudah tidak anak-anak lagi, tetapi ia juga belum dewasa; Ismail baru menginjak usia baligh.