Scroll untuk baca artikel
Blog

Ragunan

Redaksi
×

Ragunan

Sebarkan artikel ini

SIANG itu tidak begitu banyak orang berkunjung di Taman Wisata Ragunan, mungkin karena ini hari senin. Jadi pelajar dan pekerja mulai sibuk dengan kegiatannya. Namun tempat wisata tetap tempat wisata, tentu masih ada yang berkunjung. Anak-anak pra sekolah tampak riang gembira di lingkungan yang khusus di desain untuk permainan anak. Tempat ini di padati oleh anak-anak yang ingin belajar tentang kehidupan, dari nama-nama hewan dan tumbuhan. Mereka asyik bermain dengan seusianya dan para guru tampak serius mengamati anak didiknya.

Akan tetapi bagiku hari ini tetap sepi, walaupun aku masih di temani oleh sahabatku yang selalu setia menemaniku. Dia memiliki nama Ilham yang di besarkan oleh mewahnya kota Jakarta. Akan ke mana hidup ini berlabuh jika masih ada sangkar yang masih saja mengekangnya, namun aku tetap berpikir mengapa kehidupan ini tetap sepi ataukah karena aku terpenjara dalam area yang menyejukkan ini.

Dari arah pandanganku yang lain aku pandangi temanku yang baru saja membeli rokok dan minuman. Dari tangan dan jari-jarinya yang kasar itu ia menatapku dengan nafas terhempas diberikannya rokok dan minuman kepadaku

“Sebatang rokok dan sebotol minuman, Rony?”

Aku mengangguk sambil menerima tawarannya yang dibelinya dengan uang yang ia cari sendiri dari bus ke bus, dari halte satu ke halte lainnya. Memang ia hanya seorang pengamen, namun hatinya seperti pengusaha yang dermawan. Kemudian dia berdiri menatapku di bangku taman yang berbalut coret-coretan. Ku hisap rokok itu sambil aku pandangi gajah-gajah besar itu.

“Apa yang sedang kau pikirkan, Rony”
“Ya…Ilham, coba kau pikirkan bagaimana rasanya menjadi mereka, semua tidak adil.”
“Tidak adil, bagaimana?”

“Mereka terkurung di kandang-kandang besar. Namun mereka tidak sadar bahwa dirinya sebenarnya telah dianiaya dan mereka tidak berdosa. Pantaskah dunia memperlakukannya seperti itu mengapa tidak aku saja yang dipenjara. Kau kan tahu banyak darah yang keluar dari tanganku, seluruh tubuhku penuh dengan noda-noda dosa. Tapi ini tidak adil mereka tidak melakukan kesalahan, akulah yang salah!”
“Tenangkan dirimu kita ke sini untuk berlibur.”

“Bagaimana bisa tenang, jika jiwaku tetap bergejolak memikirkan luka-luka yang telah menghitamkan seluruh ragaku. Aku ingin menatap dunia dengan senyum namun mataku telah dibutakan dengan kepuasan dan nafsu yang kotor. Merekalah yang terpenjara namun tetap menikmati hidup ini dengan rasa bahagia”.
“Apa maksudmu?”

“Lihatlah mereka terkurung tidak bisa bebas. Begitu juga aku. Ini adalah sebuah perumpamaan, kecuali jika engkau ingin memikirkannya dan merenungkan dengan ketulusan.”
“Sungguh tulus hatimu. Kaulah teman terbaikku. Aku tidak akan memandang masa lalumu dengan seburuk tingkah lakumu dulu. Kau telah menemukan pencerahan di Marga Satwa ini. Ayo…gapai harapan cintamu.”
“Terima kasih teman, engkaulah yang mengerti diriku.”

Ada sebutir ketulusan yang dapat membuat setiap hal semakin bermakna, tapi ada pula sebutir ketulusan yang dapat membuat orang terlena dan tidak berdaya. Itulah diriku yang di setiap tingkah laku penuh dengan cela dan maki. Akibatnya, sepanjang hari aku merasa dalam gelap gulita. Banyak orang yang ingin merasakan kebahagiaan dunia termasuk kebahagiaan batin. Namun acap kali hatinya ditutupi dengan rupiah semata.

Meskipun mereka melewati taman-taman indah dan rindang penuh dengan keharuman bunga, air jernih yang memancar, burung-burung yang berkicau merdu di atas dahan pohon.

Pikiran dan hatinya hanya ada uang, hidup ini harus ada uang akan tetapi apakah semua hal harus dengan uang. Sungguh sayang sekali jika mereka menjual kebahagiaan mereka hanya mencari dan menumpuk harta yang tidak dibawanya ketika ia mati.