SATU jabatan saja belum tentu berhasil, apalagi dua.
Itu adalah pernyataan paling fenomenal dan juga paling dilanggar dalam Pemerintahan Jokowi.
Janji Jokowi itu termasuk yang dilanggar sampai periode kedua. Padahal tadinya Jokowi mengeluarkan pernyataan itu agar menterinya fokus bekerja. Tinggal memilih, menjadi menteri atau mundur dengan memilih jabatan lain atau sebaliknya. Tapi yang terjadi malah dua-duanya, tiga-tiganya atau empat-empatnya diambil.
Mengambil semua jabatan publik bukan hanya soal rakus tetapi yang lebih tinggi adalah perihal etika. Rangkap jabatan tidak hanya soal gaji atau pendapatan rangkap dari pajak rakyat, menutup peluang karier orang lain tetapi juga yang paling parah adalah abuse of power dan vested interest.
Paling anyar adalah Menteri BUMN Erick Thohir yang terpilih menjadi Ketua Umum PSSI dan Menteri Pemuda dan Olahraga menjadi Wakil Ketua Umum PSSI.
Sebelumnya Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto menjadi Menko Perekonomian dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan sebagai Menteri Perdagangan.
Walaupun PSSI bukan ormas politik tetapi di Indonesia organisasi apapun termasuk olahraga sangat politis. Bisa sebagai modal untuk mendulang pendanaan juga mencari popularitas. Akhirnya pemilihan Ketua Umum PSSI pun selalu politis. Dan Erick Thohir pasti meminta izin dulu kepada Presiden Jokowi. Kalau tidak mendapat izin tidak mungkin maju dalam kontestasi.
Kritik publik, media massa dan juga oposan atas sikap Jokowi yang diam dan tidak mengambil tindakan kepada para menterinya yang rangkap jabatan, tidak mempan. Jokowi tetap membiarkannya.
Dampaknya sudah dirasakan, kinerja menteri tidak optimal karena mereka juga memikirkan partai politik dan juga organisasi lain yang dipimpinnya. Belum lagi menteri yang digaji rakyat sangat besar masih saja berkampanye untuk ikut kontentasi Pemilu 2024 dan juga menjadi panitia hajatan sebuah ormas.
Inilah yang diprediksi Jokowi dalam pesannya, “Satu jabatan saja belum tentu berhasil, apalagi dua.”
Akibat ketidakkonsistenan Jokowi tersebut, dampaknya seperti sekarang. Indonesia dari berbagai parameter dan indikator tetap dalam posisi negara medioker.
Padahal pada periode pertama bernama “Kabinet Kerja” kemudian periode kedua bernama “Kabinet Indonesia Maju”.
Hasilnya? Menteri sibuk di organisasi lain, jadi panitia ormas, nyebar baliho, mejeng di ATM dan kaos lomba lari.
Inikah hasil nyata Kabinet Indonesia Maju? [rif]