BAGI saya seniman multi bidang paling mumpuni adalah Remy Sylado. Dia seniman sekaligus sastrawan. Segara teater, musik, senirupa, puisi, cerpen, novel, esai, dia kayuh sekali dayung dengan tarikan napas sama. Satu talenta yang dimiliki seorang kawindra — sebutan dia bagi Rendra — yang jarang dikuasai seniman di Indonesia dan dunia sekaliber.
Tulisannya tentang etno musika, pertama saya baca dimuat di majalah Prisma. Itu di 1987, saat saya numpang di rumah kontrakan Emha Ainun Nadjib. Saat itu saya ingat, sebagai penulis dengan nama mulai berkibar, Emha melihat nama Remy sebagai kritikus seni paling disegani. Seingat saya Emha bilang, “sangat sulit menyamai tulisan Remy, terutama dalam penggalian referensi dari sumber aslinya, dan untuk itu Remy gudangnya.”
Kemudian 1981 saya mulai tinggal di Semarang, lambat laun saya tahu Remy mulai menapaki karier kepenulisan di Semarang. Yakni, sejak dia duduk di satu SMA swasta Katolik. Dia mulai menulis di koran Semarang, bahkan pernah dipercaya sebagai redaktur tamu.
Tapi kala saya duduk di SMA Tegal, saya telah mengenal rubrik Puisi Mbeling di Majalah Aktuil. Satu majalah musik yang jadi idola bagi anak muda, termasuk saya. Pada 1975-an itulah, dari Semarang Remy lanjut berkiprah di Jakarta, sebagai redaktur rubrik puisi yang mendobrak keindahan baku puisi Indonesia, dengan trade mbeling atau nakal yang sumbud.
Di bidang teater anak muda se Indonesia pernah dikejutkan dengan pentas teater olahan Remy, yang bertitel Orexas. Satu pertunjukan teater musikal, yang judulnya akronim dari Organisasi Sex Bebas. Saat itu saya masih SMA, betapa kami sangat mendamba nonton pementasan kontroversial itu.
Meloncat ke karya sastranya, khususnya novel, karya-karya Remy bisa dikatakan genre sastra yang kaya dengan data sejarah dan kesadaran akan pemikiran baru dalam khasanah sastra, dengan bahasa pop yang sangat ngelotok bagai rambutan Ungaran.
Novelnya yang berada di ujung capaiannya itu dari “Kembang Jepun” tentang pelacuran di zaman Jepang, “Cabaukan” yang difilmkan, hingga “Mata Hari” kisah kehidupan spionase wanita yang pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Harian Kompas.
Remy juga pernah duduk sebagai juri film dalam FFI, antaralain bersama Rendra. Diungkapkan saat menilai film Garin Nugroho, Rendra tampak usrek dan bergumam, “film opo to iki, elek, niru teaterku!” Dicetuskan dalam penilaian sisi musik film itu, Dua R, Remy dan Rendra sempat berdebat, yang akhirnya dimenangkan Remy yang mengunggulkan musik etnis karya Rahayu Supanggah.
Jauh sebelumnya, nama 2 R pernah ngerek saat membuat rekaman kaset baca puisi, side A Rendra dan side B Remy Sylado. Juga dikabarkan saat Rendra dipenjara atas baca puisi yang diasapi bom molotop di TIM, Remy pernah menggarap teater dengan pemain anak buah Rendra Bengkel Teater.
Monologer Herlina Syarifudin, salah seorang anak buah teater Remy pernah bercerita saat dia singgah di Kedai Sanutoke. Sebelumnya dia berpamit kepada sang suhu, mau menemui Eko Tunas di Semarang. Sambil berkernyit ia pun bertanya, siapa itu Eko Tunas?
Saat itu saya segera ingat pada 1990 saya mau naik bis kota jurusan Banyumanik – Pasar Johar. Saat itulah seorang pria paro baya gagah sangar tapi necis berpakaian putih-putih naik lewat pintu belakang bis Damri itu dan duduk tenang di kursi paling belakang. Saya pun menjejerinya, salam saya, Mas Remy ya. Dia tersenyum kecil mengangguk kecil, menyambut salam saya dan bertanya, “kamu siapa?”
Hari ini saya banyak membaca di media on line, Yapi Tambayong Remy Sylado telah tutup usia. Ingatan saya pun membayang, saya mau naik bis kota jurusan Banyumanik – Pasar Johar. Saya lihat seorang pria parobaya naik bis Damri itu lewat pintu belakang, dan duduk tenang di kursi paling belakang.