Scroll untuk baca artikel
Sastra

Rendra: Tuhan Aku Cinta Kepadamu

Redaksi
×

Rendra: Tuhan Aku Cinta Kepadamu

Sebarkan artikel ini

BICARA Rendra sebagai penyair, menarik bila mengikuti proses kreatifnya. Proses kepenyairannya, sejak remaja hingga menjelang tutup usia.

Buku puisinya terakhir justru berisi puisi-puisi cinta yang ditulisnya saat remaja. Rendra remaja menuliskan pengalaman cintanya kala usianya masih sekitar enambelas tahun. Satu masa remaja terindah saat mulai mencecap madu cinta untuk pertama kali.

Lanjut, sebutlah, saat dia memadu cinta dewasa. Lahirlah buku puisi Kakawin-Kawin. Menarik, justru dia mulai menggunakan bahasa keseharian yang amat sehari-hari. Misalnya larik sajak Surat Cinta, yang ditujukan teruntuk gadis pujaannya, Sunarti. Satu ungkapan berani menasbih tabu: wahai Dik Narti aku cinta kepadamu.

Sudah itu beranjak dia mulai mengalami kesadaran sosial. Kesadaran atas pengalaman, bahwa di luar dirinya ada ‘Sepatu Tua’ atau ‘Atmo Karpo’. Terangkum dalam buku Sajak-Sajak Sepatu Tua.

Rendra kemudian berkesempatan merambah pengalaman di luar negeri, Amerika, dan pulang membawa oleh-oleh model puisi lanjut. Gaya poetica yang ingin saya sebut sebagai, puisi post metropolis. Lihat saja puisi Rick dari Corona, Khotbah, hingga Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta.

Rendra juga membawa kebiasaan baru, poetry reading, atau seni baca puisi. Dalam satu acara di tv swasta, Muhamad Sobari berkata, “sejak itu semua penyair membaca puisi meniru gaya Rendra, sungguh memuakkan!”

Paling mengejutkan, saat lanjut Rendra menemukan bentuk puisi baru, yakni yang disebutnya sebagai Puisi Pamlet. Semua kritikus secara umum menilai, Rendra melakukan semacam salto mortal. Dia mengangkat bahasa protes dalam puisi-puisi yang secara lugas bicara tentang kritik sosial politik.

Tapi saya hendak mengatakan, di situlah Rendra sampai pada perjalanan akhir proses kreatifnya. Ialah, satu pencapaian, Rendra telah selesai dengan persoalan estetika.

Saat itu kira-kira dia telah berusia limapuluhan tahun. Di sini kita mesti menyadari, proses kreatif Rendra sejalan dengan proses perjalanan waktu/usia, atas pergolakan pengalaman hidupnya sebagai manusia budaya di tengah dunia sosial politik.

Lebih mengejutkan di 1990-an itu, panggung baca puisi Rendra mendobrak tabu profesionalitas penyair. Baca puisinya mengangguk honorarium fantastis, 13 juta — sekarang tarohlah 1, 3 M.

Sampailah Rendra di ujung perjalanan waktu. Sang waktu berkenan membuka cakrawala pengalaman Rendra seluas dan sedalam pengalaman sosial sekaligus rohani.

Sebelum tutup usia Rendra menulis puisi terakhirnya: Tuhan Aku Cinta Kepadamu.***