Imam Al-Ghazali mengatakan kebahagiaan ketika ia berhasil mencapai marifatullah atau mengenal Allah Swt. Sedangkan resep hidup bahagia yakni menemukan diri dan mengenal Allah.
BARISAN.CO – Kehidupan di dunia merupakan perjalanan menuju sang Illahi, menjalaninya dengan penuh ketundukan dan kepasrahan. Namun terkadang dalam menjalaninya penuh dengan persoalan sehingga menyebabkan kehilangan makna hidup. Ketika seseorang mulai kehilangan makna hidupnya, dipastikan ia juga kehilangan kebahagiaan.
Ketika sepercik bahagia saja hilang, bisa jadi ia tidak kehilangan pula pegangan hidupnya mau kemana dan hendak kemana dan untuk apa jalani hidup ini. Diperlukan ramuan khusus untuk menyelesaikan keresahan dan kehilangan makna hidup.
Mulai menapaki pelan-pelan menuju hidup yang lebih bermakna, menjadi manusia yang bermanfaat baik untuk diri maupun orang lain. Ibnu Attaillah As-Sakandari dalam kitab Al-Hikan menyampaikan pentingnya membuka mata hati:
اجْتِهادُكَ فيما ضُمِنَ لَكَ وَتَقصيرُكَ فيما طُلِبَ مِنْكَ دَليلٌ عَلى انْطِماسِ البَصيرَةِ مِنْكَ
“Kesungguhamnu mengejar apa yang sudah dijamin untukmu (oleh Allah) dan kelalaianmu melaksanakan apa yang dibebankan kepadamu, itu merupakan tanda butanya bashirah (mata batin).”
The meaning of life atau makna hidup sangat penting bagi diri seseorang, sebab hal ini merupakan jalan menuju bahagia. Oleh karena itu menurut maqolah Kitab Al-Hikam hendaknya seseorang membuka mata hati yakni membuka kesadaran ruang spiritual yang telah tertutup oleh hidup duniawi.
Jika seseorang mulai menapaki ketundukan terhadap Allah melalui ruang spiritual, kiranya makna hidup mulai terbuka. Betapa berarti dan berharganya mencari makna hidup tentang diri sendiri yang berkait erat dengan tujuan hidup yakni kehidupan yang bahagia.
Resep Hidup Bahagia Imam Al-Ghazali
Setelah menapaki kesadaran ruang spiritual untuk membuka makna hidup, selanjutnya menemukan resep hidup bahagia. Menurut Imam Al-Ghazali kebahagiaan adalah ketika bahagia dan kelezatan yang sejati yakni bilamana dapat mengingat Allah Swt.
Sedangkan bahagia menurut salah satu firman Allah Swt:
يَوْمَ يَأْتِ لَا تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَسَعِيْدٌ
“Dikala datang hari itu, tidak ada seorang pun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia.” (QS. Al-Hud: 105)
Pengertian bahagia ini menunjukkan bahwa kebahagiaan adalah soal bagaimana kondisi hati menerima dengan penuh keyakinan. Misalnya, seseorang ditimpa sakit ia mampu mempertahankan keimanannya meskipun dalam kondisi sakit. Bahwa rasa sakit adalah anugerah Allah Swt kepada setiap hambanya.
Sedangkan dalam pandangan Imam Al-Ghazali kebahagiaan seorang hamba adalah ia berhasil mencapai marifatullah atau mengenal Allah Swt. Imam Al-Ghazali memandang bahwa kebahagiaan tiap-tiap sesuatu ialah bila rasa nikmat atau kesenangan dan kelezatannya dan kelezatan itu adalah menurut tabiat kejadian masing-masing.
Jadi kelezatan ini adalah menyaksikan suatu obyek yang indah, kenikmatan yang dapat didengar dan yang merujuk pada kekuatan indra manusia.