Revisi UU No. 29 tahun 2007 tentang Ibu Kota Jakarta merupakan momentum emas untuk melakukan perubahan dan penyempurnaan UU dan berbagai peraturan ikutan lainnya
BARISAN.CO – DPRD DKI Jakarta dinilai tidak terlalu proaktif dalam memberikan masukan kepada pemerintah pusat, DPR atau Pemprov DKI Jakarta dalam revisi UU No. 29 tentang UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia Jakarta Sebagai Ibukota Pemerintahan Republik (Ibu Kota Jakarta). Padahal, Pemerintah pusat memberikan tenggang waktu selama 53 hari kepada masyarakat dan Pemprov DKI untuk memberikan masukan.
“Sebagai pemilih pada Pemilu Legislatif 2019 di DKI Jakarta, secara pribadi saya kecewa jika para wakil rakyat di DPRD DKI Jakarta itu tidak memberikan masukan yang komprehensif berbasis aspirasi masyarakat dan data empirik terhadap revisi UU No. 29 tahun 2007 tentang Ibu Kota Jakarta karena hal ini menyangkut kepentingan masyarakat dan pembangunan Jakarta kini dan ke depan,” ungkap anggota Dewan Pembina Literasi Demokrasi Indonesia Achmad Fachrudin, dalam keterangan tertulisnya kepada barisan.co, Selasa (15/3/2022).
Menurut anggota Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) DKI ini, berbagai masukan sangat penting diharapkan dari DPRD DKI terhadap revisi UU No. 29 tahun 2007 tentang Ibu Kota Jakarta. Antara lain terkait dengan status DKI ke depan, apakah menjadi daerah khusus atau daerah istimewa, atau seperti Papua dan Papua Barat yang diatur dengan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Atau Daerah Istimewa Nanggroe Aceh Darussalam yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dengan dilengkapi Peraturan Daerah Aceh yang diistilahkan dengan Qanun?
Isu lain terkait dengan desain pembangunan Jakarta ke depan yang diinginkan oleh sejumlah kalangan menjadi Pusat Ekonomi dan Bisnis Berskala Global. Sangat ditunggu-tunggu masukan pemikiran dari DPRD DKI. Demikjan juga sistem atau format otonomi daerah DKI ke depan, apakah tetap berada di tingkat privinsi ataupun perlu dimekarkan hingga ke tingkat walikota dan kabupaten.
Masyarakat Jakarta juga menunggu ketegasan usulan dan sikap DPRD DKI terkait Pilkada DKI 2024: Apakah Pilkada DKI cukup hanya di tingkat provinsi atau perlu ada Pilkada di tingkat Kabupaten/Kota, serta mekanisme penentuan pemenangnya: apakah melalui sistem suara terbanyak seperti di daerah-daerah lainnya. Atau tetap dilakukan Pilkada putaran kedua jika di putaran pertama tidak ada yang memperoleh suara 50+1, seperti diatur dalam UU No. 29 tahun 2007 tentang Ibu Kota Jakarta? Bagaimana pula dengan aset-aset strategis di Jakarta yang saat ini dikelola oleh Pemerintah Pusat (Sesneg)? dan berbagai isu lainnya.
Menurutnya, revisi UU No. 29 tahun 2007 tentang Ibu Kota Jakarta merupakan momentum emas untuk melakukan perubahan dan penyempurnaan UU dan berbagai peraturan ikutan lainnya. “Jangan disia-siakan nanti akan menyesal kemudian,” pintanya. Sebab, lanjutnya yang paling tahu tentang model ataudesain pembangunan Jakarta kini dan ke depan adalah masyarakat Jakarta yang antara lain diwakili oleh anggota DPRD DKI Jakarta. Bukan oleh orang atau pihak luar Jakarta.
Mantan anggota KPU dan Bawaslu di DKI ini mengaku tidak terlalu mengetahui dengan persis alasan DPRD DKI cenderung pasif dengan kepindahan Ibu Kota Jakarta ke Kaltim yang berdampak terhadap revisi UU No. 29 tahun 2007 tentang Ibu Kota Jakarta. Mungkin saja karena DPRD DKI menganggap, banyak isu atau agenda lain yang lebih penting diprioritaskan. Tetapi bisa juga karena masih terjadinya pro kontra terkait dengan pemindahan Ibu Kota Jakarta ke Kaltim. Atau dirinya yang tidak tahu bilamana DPRD DKI sudah menyiapkan usulan komprehensif mengenai hal ini.