BARISAN.CO – Indonesia memberikan suara ‘No’ untuk resolusi Responsibility to Protect and the Prevention (R2P) dalam upaya PBB mencegah genosida, kejahatan perang, pembantaian etnis, dan kejahatan kemanusiaan. Sikap Indonesia di PBB ini ramai diperbincangkan.
Indonesia menjadi satu-satunya negara Asia Tenggara yang ambil suara ‘No’. Di luar blok negara tetangga, ada 14 negara lain yang mengambil sikap yang sama, di antaranya: Rusia, Cina, Zimbabwe, hingga Korea Utara.
Kemarin (20/5/2021), Kementerian Luar Negeri meluruskan ihwal pilihan Indonesia tersebut. Juru Bicara Kemenlu Teuku Faizasyah menekankan, pengambilan suara tersebut lebih dalam rangka menolak pembentukan agenda baru tahunan, bukan dilakukan terhadap substansi gagasan R2P.
Pembentukan agenda baru tahunan itu, menurut Kemenlu, justru mengulang pembahasan isu R2P seperti tahap awal beberapa tahun lalu. (Reinventing the wheels dalam istilah Inggris; mindo gaweni dalam istilah Jawa—Red).
“Posisi voting Indonesia adalah terkait rancangan resolusi dimaksud (prosedural), bukan terhadap gagasan R2P,” kata Faizasyah dalam keterangan tertulis.
Faizasyah menegaskan, sikap Indonesia mendukung penuh gagasan R2P yang menentang pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Dan penolakan Indonesia terhadap prosedur baru R2P pun telah didasarkan sejumlah pertimbangan.
- Pertama, Indonesia menilai tidak perlu ada pembentukan agenda baru, karena pembahasan R2P di Sidang Majelis Umum PBB selama ini sudah berjalan dan penyusunan laporan Sekjen PBB selalu dapat dilaksanakan.
- Kedua, R2P dalam Sidang Umum PBB sudah memiliki agenda yakni Follow Up to Outcome of Millenium Summit.
- Ketiga, konsep R2P sudah tertulis dalam Resolusi 60/1 tahun 2005 World Summit Outcome Document, paragraf 138–139.
Implikasi Pilihan ‘No’
Meski Indonesia sudah membubuhkan alasan prosedural saat memilih ‘No’, dan alasan itu menunjukkan Indonesia berbeda dari misalnya Zimbabwe yang memang tak setuju dengan gagasan R2P, publik dunia sudah telanjur memasukkan Indonesia ke dalam Wall of Shame negara dalam soal HAM.
Faktanya, publik tidak tertarik mendengar alasan. Bagaimanapun ‘No’ tetaplah ‘No’, dan genosida tetaplah genosida. Bila Indonesia memilih ‘No’ saat diajak bertanggung jawab dan melindungi dunia dari kejahatan genosida, artinya Indonesia tidak ingin ikut bertanggung jawab pada kejahatan genosida.
Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid menilai, pilihan ‘No’ telah membuat Indonesia sejajar dengan 14 negara lain yang reputasinya rendah di bidang HAM. Dan sikap itu juga memperlihatkan rendahnya tingkat komitmen Indonesia dalam memajukan dan melindungi HAM di dunia.
“Kami menyayangkan sikap Indonesia yang menyatakan “TIDAK” saat pemungutan suara Responsibility To Protect atas situasi kejahatan yang tergolong amat serius di Palestina, Myanmar, dan Suriah, terutama kejahatan terhadap kemanusiaan. Padahal jenis kejahatan ini merupakan pelanggaran HAM yang berat dan melanggar hukum Indonesia, yaitu UU No. 26/2000,” kata Usman Hamid kepada wartawan, Kamis (20/5/2021).
Usman mengatakan, Amnesty International mengirim surat kritik kepada Istana. Ia menyayangkan bahwa ketika selama ini Indonesia diapresiasi karena serius memperhatikan penanganan konflik Palestina, justru mengambil langkah mundur atas pilihan sikap diplomatiknya di R2P.
Padahal selain Palestina, Indonesia juga masih memiliki tanggung jawab yang besar dalam upaya penghentian kejahatan kemanusiaan di Myanmar, Suriah, maupun di dalam negeri.
Langkah Mundur
Suara Indonesia tidak akan menghentikan langkah PBB mengesahkan pembahasan R2P sebagai agenda rutin: Ada 115 negara yang mendukung agenda tersebut.
Akan tetapi, publik menilai pilihan sikap Indonesia bermasalah dilihat dari sisi manapun. Dibanding misalnya memilih ‘Abstain’, jelas bahwa implikasi pilihan ‘No’ akan banyak memengaruhi dinamika penanganan HAM negara.
Tentu butuh waktu pula untuk memulihkan nama Indonesia yang sudah telanjur dicap negatif dari publik dunia, dengan menyematkan Indonesia ke dalam ‘daftar negara memalukan’. Ironisnya, citra itu tersemat justru ketika Indonesia sedang menjadi salah satu anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB.
Sikap politik ‘No’ bagaikan nila setitik terhadap seluruh upaya Indonesia mendukung R2P sejak Konferensi Tingkat Tinggi Dunia yang digelar pada tahun 2005 di New York City, Amerika Serikat. Saat itu, bersama 190 negara lainnya, Indonesia ambil bagian untuk menangani dan mencegah kejahatan kemanusiaan di bawah hukum internasional.
Negara-negara itu sepakat mengatur penanganan dan pencegahan genosida, kejahatan perang, pembantaian etnis, dan kejahatan kemanusiaan lainnya dalam berbagai bentuk. Ada tiga pilar yang kemudian disepakati sebagai prinsip responsibility to protect and the prevention pada pertemuan PBB yang digelar pada 2009, yakni:
- Negara bertanggung jawab melindungi penduduknya dari genosida, kejahatan perang, pembantaian etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan;
- Komunitas internasional wajib membantu suatu negara dalam merealisasikan kewajiban untuk melindungi yang dimiliki oleh negara tersebut; dan
- Komunitas internasional wajib mengambil tindakan tepat waktu, melalui jalur diplomasi perdamaian dan kemanusiaan, dan jika langkah tersebut gagal, maka dapat menggunakan langkah yang lebih kuat.
Pilihan ‘No’ akan menyulitkan Indonesia, terutama ketika masih banyak kejahatan HAM dunia yang mesti ditangani Dewan Hak Asasi Manusia PBB. Gaya diplomasi yang buruk ini pun, diduga, masih akan jadi isu pelik dan liar. Apalagi sebetulnya soal-soal HAM sudah jelas diatur oleh konstitusi kita sendiri. []
Diskusi tentang post ini