Bonek dan Aremania punya sejarah perseteruan panjang.
BARISAN.CO – Kabar duka datang dari dunia sepak bola tanah air. 182 orang meninggal atas buntut kerusuhan pada pertandingan ‘Arema VS Persebaya’ di Stadion Kanjuruhan Malang, Sabtu (1/10/2022).
Banyaknya jumlah korban tersebut tentunya mesti menjadi perhatian semua pihak. Apalagi, kerusuhan dalam sepak bola bukanlah fenomena baru dan sayangnya terus berulang.
Tragedi kemarin Sabtu bukanlah berawal dari kerusuhan antarsuporter. Sedang ditelisik apa yang sesungguhnya terjadi sehingga ratusan nyawa melayang di Kanjuruhan.
Namun, dari video-video yang beredar liar, penggunaan gas air mata yang berlebihan oleh pihak kepolisian ditengarai jadi sebab banyak suporter alami trauma berujung kematian.
Namun demikian, faktor adu gengsi dan perseteruan Persebaya dan Arema juga tak bisa dihilangkan begitu saja.
Dua klub Jawa Timur ini punya masing-masing suporter fanatik dengan sejarah panjang dan panas, di mana kerap kali kedua suporter ini terlibat bentrok yang memakan korban.
Rivalitas keduanya sejatinya terbangun karena keinginan untuk menjadi klub terhebat dan terkuat pada kompetisi sepakbola Indonesia.
Namun, unsur budaya dan letak geografis yang tidak terlalu berjauhan memperkeruh perseteruan keduanya. Lantas apa saja yang menjadi akar rivalitas tak berujung antara Bonek dan Aremania? Berikut Barisanco rangkum informasi yang diolah dari berbagai sumber.
Akar Masalah
Gengsi dan pride menjadi hal yang mendasari rivalitas kedua suporter asal Jawa Timur ini. Baik Bonek maupun Aremania menganggap kota mereka lebih baik, hebat, dan kuat antara satu sama lain. Ditambah lagi, ada unsur yang membumbui konflik keduanya, yaitu sejarah dan kultur sosial masyarakatnya.
Di satu sisi, Surabaya merupakan ibu kota provinsi Jawa Timur, karenanya kota tersebut ingin menjadi kota ‘number one’ di Jawa Timur dalam segala aspek. Selain itu, aspek demografis, geografis, hingga politis menjadikan Surabaya sebagai kota terbesar di Jawa Timur, sehingga hal itu menjadi kebanggan tersendiri bagi Arek Suroboyo.
Di sisi lain, Malang, kota yang berada di pinggiran gunung, namun seiring perkembangan yang ada menjadikan kota ini salah satu yang terbesar di Jawa Timur setelah Surabaya. Kondisi tersebut memicu keinginan para Arek Malang untuk lebih unggul atau paling tidak sejajar dengan Arek Suroboyo.
Dari situlah, kemudian perasaan ‘wegah ngalah’ timbul dan mendapatkan momentumnya dalam kompetisi sepak bola. Sehingga, terletuplah keinginan suporter Malang Aremania untuk tidak kalah dengan suporter Surabaya Bonek.
Awal Konfrontasi
Melansir laman Indosport, pembentukan Armada 86, yang kemudian berkembang menjadi PS Arema tahun 1987 memicu konflik antara kedua pendukung. Tampak pada kompetisi perserikatan sepakbola, Persema dan Persebaya sudah memulai konflik antara suporter Jawa Timur ini.
Namun, awal kericuhan antara Bonek dengan Aremania baru meledak pada tahun 1992, dimana Arek Malang berbuat onar di Stasiun Surabaya Gubeng pasca kekalahan Arema Malang dengan Semen Padang pada pertandingan semifinal Galatama.
Kejadian tersebut menyulut amarah Bonek sehingga mereka melakukan tindakan balasan dengan cara mencegat dan menyerang rombongan Aremania saat melakukan lawatan ke Gresik pada tahun 1993. Konflik ini terus berlanjut hingga 1996 saat pertandingan antara Persebaya melawan Arema di Stadion Tambaksari, untungnya tidak ada bentrok secara fisik melainkan hanya adu mulut antar suporter satu sama lain.
Tinta Damai
Kabar baiknya, rivalitas antara Bonek dan Aremania sempat mereda, ditandai dengan kesepakatan damai antara keduanya. Dikutip dari media lokal Halo Malang, pada kesepakatan itu disebutkan Bonek atau Aremania tidak diperkenankan hadir di kandang lawan ketika terjadi laga Persebaya dan Arema.