Scroll untuk baca artikel
Blog

Risiko Gagal Bayar Utang dalam RAPBN 2022

Redaksi
×

Risiko Gagal Bayar Utang dalam RAPBN 2022

Sebarkan artikel ini

Wajar jika kemudian ketua BPK menyampaikan sebagian isi LHR kepada publik secara lebih terbuka dibanding tahun sebelumnya. Berkembang wacana publik tentang kekhawatiran BPK atas kemampuan Pemerintah dalam menunaikan kewajiban utangnya.

Hasil LHR BPK terkait utang pemerintah antara lain menekankan pada dua hal. Pertama, tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga melampaui pertumbuhan PDB dan Penerimaan Negara yang memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang.

Kedua, indikator kerentanan utang pada tahun 2020 melampaui batas yang direkomendasikan oleh International Monetary Fund (IMF) dan atau International Debt Relief (IDR).

Rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77% melampaui rekomendasi IMF sebesar 25 – 35%. Rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06% melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6 – 6,8% dan rekomendasi IMF sebesar 7 – 10%. Rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369% melampaui rekomendasi IDR sebesar 92 – 167% dan rekomendasi IMF sebesar 90 – 150%.

BPK bersifat asesmen atas kondisi yang telah terjadi, dan tidak melakukan proyeksi untuk kondisi tahun-tahun berikutnya. BPK mengakui bahwa pandemi COVID-19 meningkatkan defisit, utang, dan SILPA yang berdampak pada peningkatan risiko pengelolaan fiskal. Namun, LHR tahun 2019 atau sebelum pandemi telah memberi “peringatan” agar pemerintah lebih berhati-hati dalam mengelola utangnya.

Berdasar outlook pemerintah sendiri atas realisasi APBN 2021 yang masih berjalan, beberapa aspek LHR BPK tahun 2020 tadi tampak memburuk. Bahkan, akan berlanjut pada tahun 2022 berdasar postur RAPBN. Tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga melampaui pertumbuhan PDB dan Penerimaan Negara masih terus berlangsung.

Rasio debt service terhadap penerimaan pada tahun 2021 diprakirakan mencapai 49,33%. Beban utang berupa pembayaran pokok utang sekitar Rp490 triliun dan bunga utang sebesar Rp366,23 triliun. Sedangkan pendapatan negara ditargetkan mencapai Rp1.735,74 triliun.

Rasionya pada tahun 2022 dapat meningkat menjadi 50,57%. Beban utang berupa pembayaran pokok utang diprakirakan sekitar Rp525 triliun dan bunga utang sebesar Rp405,87 triliun. Sedangkan pendapatan negara hanya ditargetkan mencapai Rp1.840,66 triliun.

Dengan demikian, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan meningkat menjadi sebesar 21,10% pada tahun 2021, dan sebesar 22,05% pada tahun 2022.

Peningkatan juga terjadi dalam rasio utang terhadap pendapatan. Posisi utang pada akhir 2021 diprakirakan mencapai Rp7.150 triliun. Bertambah sekitar Rp1.070 triliun dari posisi akhir tahun 2020. Dihitung dari outlook pembiayaan utang sebesar Rp1.027 triliun dan prakiraan faktor pelemahan kurs rupiah sekitar Rp43 triliun. Posisi utang dibanding pendapatan mencapai 411,93%.