Penerbitan SBN domestik selama setahun terakhir terutama diserap oleh Bank Indonesia dan perbankan. Terdapat pula peningkatan kepemilikan oleh perusahaan asuransi dan dana pensiun. Adapun kepemilikan individual atas SBN ritel memang naik berlipat, namun nilainya terbilang belum besar, hanya Rp198,98 triliun per 18 Agustus 2021.
Dengan kata lain, menjadi soalan serius tentang pihak mana yang diandalkan untuk membeli SBN pada tahun 2022.
Wacana sejauh ini masih mengandalkan Bank Indonesia dan perbankan. Hal demikian menimbulkan soalan tersendiri, yang memerlukan pertimbangan dari berbagai aspek. Bagaimana posisi keuangan Bank Indonesia dan beban tugas utamanya dalam menjalankan kebijakan moneter. Sedangkan untuk perbankan, perlu ditimbang dampaknya atas fungsi utamanya menyalurkan dana kredit ke sektor riil.
Cukup jelas adanya keterbatasan dana yang dimiliki oleh perusahaan asuransi, dana pensiun, dan individu. Ditambah dampak perubahan portofolio aset mereka. Jika memperbesar porsi SBN, dengan keterbatasan pertumbuhan dana, maka akan mengurangi porsi di perbankan. Sangat mungkin pula mengurangi minat untuk mengalokasikan pada instrumen yang berdampak lebih langsung bagi sektor riil.
Sementara itu, tantang berat telah menghadang untuk menarik minat asing pada SBN rupiah. Banyak negara sedang berebut sumber utang. Belum lagi isyu akan adanya tapering off dari the Fed. Imbal hasil SBN yang lebih tinggi dibanding banyak negara lain selama setahun ini terbukti tidak mencukupi. Jika terpaksa menaikannya lagi, maka beban bunga akan makin menekan APBN.
Meskipun SBN valuta asing masih tampak diminati, namun nyaris tidak mungkin mengenjotnya lagi secara besar-besaran. Disamping berpotensi mengurangi minat, hal itu akan meningkatkan risiko perekonomian terkait dengan kebutuhan devisa nantinya.
Pada akhirnya, penulis berpandangan bahwa upaya pencarian utang baru bukan hal mudah pada tahun 2022. Akan jauh lebih sulit dari tahun-tahun sebelumnya. Tampaknya pemerintah cukup menyadari kondisi ini. Terbukti dari memberi skala 3 dari 5 dalam hal risiko pembiayaan utang pada Nota Keuangan dan RAPBN 2022. Dengan kata lain diakui mungkin terjadi, pembiayaan utang tidak sesuai harapan.
Pemerintah menilai dampak risiko pembiayaan utang itu hanya berskala 1 dari 5 atau sangat kecil. Antara lain karena merasa telah menyediakan fiscal buffer dan ketersediaan Saldo Anggaran Lebih (SAL).
Memakai skala risiko pembiayaan utang yang serupa, penulis memberi skala 4 dari 5. Atau sangat mungkin terjadi. Serta memberi skala 3 atau berdampak sedang terhadap kondisi APBN.