Ketua Umum YLBHI, M. Isnur mengatakan muatan-muatan pasal antidemokrasi masih dipaksakan merujuk pada kesimpulan rapat sebelumnya.
“Persoalan serius yang menjadi sorotan utama adalah RKUHP dapat menjadi instrumen yang mengancam demokrasi dan kebebasan sipil,” kata Isnur dalam keterangan tertulis, Kamis (24/11/2022).
Siaran Langsung Persidangan
Draf terbaru Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) 24 November 2022 Pasal 280 masih mengatur terkait gangguan dan penyesatan proses peradilan. Dalam Pasal 280 ayat (1) huruf c, masih diatur soal publikasi siaran langsung persidangan tanpa izin akan tetap mendapat pidana denda kategori II. Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward O.S. Hiariej menegaskan, aturan ini tidak akan mereduksi kebebasan insan pers dalam meliput persidangan.
“Yang dimaksudkan dengan mempublikasikan proses persidangan secara langsung yaitu live streaming, tidak mengurangi kebebasan jurnalis atau wartawan untuk menulis berita dan mempublikasikannya setelah sidang pengadilan,” ujar Edward dalam Rapat Kerja di Komisi III DPR RI, Kamis (24/11) siang.
Denda kategori II, sebagaimana diatur dalam Pasal 79 RUU KUHP, adalah denda dengan nominal maksimal Rp 10 juta. Denda juga berlaku bagi pihak yang tidak mematuhi perintah pengadilan saat proses peradilan, yakni tidak hormat terhadap hakim padahal sudah diperintahkan atau menyerang integritas hakim di sidang.
Sebelumnya, dalam draf 9 November 2022, belum dijelaskan mengenai aturan kegiatan peliputan live streaming maupun audio visual secara spesifik bagi insan pers.
Definisi Makar dalam RKUHP
Kemenkum HAM mengganti kata makar menjadi “serangan” dalam draf RKUHP. Dalam draf RKUHP yang disusun pada 9 November lalu, kata “makar” tercantum dalam Pasal 160 yang berbunyi, “Makar adalah niat untuk melakukan suatu perbuatan yang telah diwujudkan dengan adanya persiapan perbuatan tersebut.”
Kemudian, isi pasal tersebut diubah menjadi “Makar adalah niat untuk melakukan serangan yang telah diwujudkan dengan persiapan perbuatan tersebut.”
Perubahan tersebut merujuk pada Putusan MK 7/PUU-XV/2017 halaman 156 poin 3.13.9 yang menyatakan jika kata “makar” dimaknai sebagai “serangan” tanpa dikaitkan dengan rumusan norma lain yang ada pada pasal-pasal yang diminta pengujian, maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Hal ini dikarenakan penegak hukum baru dapat melakukan tindakan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana makar, apabila orang yang bersangkutan telah melakukan serangan yang menimbulkan korban.
Taufik Basari mengapresiasi langkah Kemenkumham mengubah kata pasal tersebut.