Scroll untuk baca artikel
Blog

Rumah Para Petarung – Cerpen Eko Tunas

Redaksi
×

Rumah Para Petarung – Cerpen Eko Tunas

Sebarkan artikel ini

Apakah kau akan begitu saja berpaling, lebih mempercayai kertas berhuruf itu? Karena kemampuan bahasa koran lebih canggih, tentu saja sepatu tertindas oleh berita.

Apalagi koran selalu bersekutu dengan televisi, dalam memperkatakan tentang dunia yang tarafnya sudah sulit dimengerti.
Dikabarkan adanya pelarangan terhadap pihak yang memberitakan aib, kejelekan, sampai gosip seseorang hingga terinjak-injak seperti sepatu. Bahkan si pemberita akan terancam hukuman.

Kalau begitu apakah pelaku aib, tindakan kejelekan, dan penyandang gosip akan dibiarkan. Sebagaimana yang memberitakan tindak korupsi akan terancam hukuman, dan para kuroptor dibiarkan seperti tikus menggerogoti lumbung padi milik rakyat.

Bukankah kitab-kitab suci juga mengabarkan tentang aib, kejelekan, bahkan mirip gosip tentang para penentang Nabi. Kalau begitu apakah harus ada pelarangan terhadap kitab-kitab suci.

Pada kenyataannya yang terjadi kemudian adalah pertentangan antara penganut kitab suci dan pengikut Nabi dari kitab suci yang sama.
Lihatlah yang terjadi…..

Perang keyakinan, klaim kebenaran atas nama ajaran, isiu saling memprovokasi, telah melunturkan semangat kebersamaan bagi keluarga yang sangat menghargai keberagaman…

Dikabarkan pula pemerintah telah mengeluarkan dana hibah yang jumlahnya milyaran bahkan triliunan. Konon peringkat pertama yang mendapatkan dana hibah itu adalah pihak yang melarang-larang itu.

Ketiga pihak pelaksana atas pelarangan itu yang biasanya melakukannya dengan praktek-praktek kekerasan. Kedua pihak yang mau mengambil alih uang para koruptor, dan mengembalikannya sebagai uang milik negara.

Keempat ibarat irisan roti bagian pinggir yang biasanya dibuang, akan diserahkan demi pengentasan kemiskinan. Ternyata ada dana hibah yang besarnya melebihi bagi pihak yang melarang-larang.

Yakni pihak yang melakukan pemberantasan terorisme, karena dianggap sebagai musuh negara bahkan dunia internasional paling utama.

“Bagaimana menurutmu?” tanyanya pada Sang Anak.
“Ya itulah dunia Ayah.”
“Kok dunia Ayah?”
“Maksud saya dunia generasi Ayah, dunia korupsi sistemik.”
“Kok sistemik?”
“Kan Menteri Keuangan sendiri yang bikin istilah itu.”
“Lalu bagaimana dengan duniamu?”
“Dunia anak muda dong…”
“Bagaimana, bagaimana?” antusiasnya.
“Mau melawan dunia Ayah.”
“Caranya?”
“Dengan kejujuran sistemik.”

Mendengar kata kejujuran ia mau menyergah, bahwa ia tidak percaya bahwa kejujuran masih ada di kehidupan yang tercipta oleh struktur dan sistem.

Sebagaimana pekerjaannya yang lebih berat dari tugas-tugas sebelumnya. Kemafuman pintu-pintu, tawa lebar anak-anaknya yang berlintasan. Lukisan-lukisan di dinding, dan gebukan dram di studio musik.

Senyum isterinya yang menempel di setiap dinding, melenting-lenting di seluruh ruang dingin ac. Ruang tamu dengan perabot raksasa bertaring antik. Ruang keluarga yang diseliweri robot-robot serdadu.

Kamar anak-anaknya yang dipenuhi bendera superpower atau poster-poster adidaya, kamar gencatan senjata persuami-isterian. Studio musiknya, yang tak diduga jenis kelaminnya.

Yang hampir-hampir mau terloncat dari mulutnya ialah: aku tidak percaya orang jujur sebelum teruji minimal sebagai sepatu!

AC tertawa.
Si bibir melenting-lenting.
Robot-robot serdadu meniup terompet.
Bendera berkibaran dan poster-poster meneriakkan kemenangan.


SEPASANG sepatu itu blingsatan, diantara tank-tank baja yang menggempur dinding-dinding. Diantara pesawat tempur yang berkesiur mengirimkan bom-bom yang menghancurkan seisi rumah.

Salahsatunya nyemplung ke dalam akuarium, memuncratkan air bersama ikan-ikan yang terlempar dan berkelojotan diantara para korban: Di sini yang ada ibu dan anak-anak!