Scroll untuk baca artikel
Blog

Rumah Para Petarung – Cerpen Eko Tunas

Redaksi
×

Rumah Para Petarung – Cerpen Eko Tunas

Sebarkan artikel ini

Kamar anak-anaknya yang dipenuhi bendera superpower atau poster-poster adidaya, kamar gencatan senjata persuami-isterian. Studio musiknya, yang tak diduga jenis kelaminnya. Dirinya, seperti petunjuk anaknya, ada di pikiran, pasti di perut, dan kadang-kadang mampir di kelamin. Tapi tidak ada di rasa!

Suara bibir itu juga, menggedor pintu-pintu: Makan bareng, bareng makan! Tidak boleh ada yang absen di meja makan! Karena kita hidup dalam kebersamaan..!

Si tuan muda pun ikutan bandel dengan protesnya: Kenapa bukan si penjagal? Kenapa bukan si koruptor? Bukankah mereka sama menimbulkan tandatanya, kenapa..?


TIDAK ada yang berubah. Juga televisi yang dihidupkan sepanjang hari, mengeluarkan tayangan. Berita, bahkan hiburan, orang-orang dalam televisi yang pun menjadi penghuni rumah.

Koran yang belum sempat dibacanya begitu saja berkibar di hadapannya, bahkan huruf-huruf berucap sendiri. Seperti biasa sepatu yang memekik karena terlempar ke sudut berteriak dengan mangapnya: Aku mengikutimu kemana pun, dan rela kau injak-injak!

Apakah kau akan begitu saja berpaling, lebih mempercayai kertas berhuruf itu? Karena kemampuan bahasa koran lebih canggih, tentu saja sepatu tertindas oleh berita-berita pagi. Apalagi koran selalu bersekutu dengan televisi, dalam memperkatakan tentang dunia yang tarafnya sudah sulit dimengerti.


Terutama kenyataan itu:
Perang keyakinan, klaim kebenaran atasnama ajaran, isiu saling memprovokasi, telah melunturkan semangat kebersamaan bagi keluarga yang sangat menghargai keberagaman…

Sampai kemudian pintu studionya tidak pernah terbuka sejak anaknya masuk di hari kematian isterinya.

Pun dirinya tidak bisa mencari dirinya yang hilang. Sepatunya blingsatan mencari sosoknya, diantara tank-tank baja yang menggempur dinding-dinding. Diantara pesawat tempur yang berkesiur mengirimkan bom-bom yang menghancurkan seisi rumah.

Salahsatunya nyemplung ke dalam akuarium, memuncratkan air bersama ikan-ikan yang terlempar dan berkelojotan diantara para korban. Ia tetap tertawa lebar meski sosoknya hablur, sebab di matanya rumahnya tidak pernah berubah, keluarganya baik-baik saja. Tapi: adakah jarak manusia yang satu dengan yang lain, keluarga. Jika bagi setiap yang bernyawa, bangsa adalah kumpulan orang-orang, keluarga-keluarga. Lalu bagaimanakah dengan rumah ini, arsitektur dan isi: dekonstruksi atau deesensiasi?
Ia tak bisa menjawab.