Scroll untuk baca artikel
Analisis Awalil Rizky

Salah Paham Atas Garis Kemiskinan

Redaksi
×

Salah Paham Atas Garis Kemiskinan

Sebarkan artikel ini
Oleh: Awalil Rizky

Publik banyak yang mengetahui jumlah penduduk miskin mencapai 27,55 juta jiwa atau 10,19 persen dari total penduduk pada September 2020. Informasi resmi disampaikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 15 Februari 2021. BPS mengatakan pula tentang garis kemiskinan sebagai ukuran.

Garis kemiskinan (GK) merupakan hal yang sering disalahpahami atau kurang dimengerti oleh banyak pihak. Sebagai contoh, GK nasional sebesar Rp15 Ribu per kapita per bulan dianggap terlampau rendah.

Bagaimana mungkin ukuran pengeluaran seseorang untuk dikatakan miskin hanya sekitar 15 ribu rupiah per hari. Kemudian ada pula yang menyebut harusnya dipakai ukuran US$1,9 per hari yang lazim dipakai secara internasional.   

Kekeliruan dalam perbincangan publik tentang hal ini terutama bersumber dari kekurangtahuan tentang beberapa aspek GK. Lima hal paling sering menimbulkan kesalahpahaman. Pertama, tentang GK yang sebenarnya selalu berubah, tepatnya makin tinggi, tiap enam bulan.

Kedua, basis data perhitungan BPS merupakan besaran pengeluaran, bukan pendapatan. Ketiga, GK merupakan ukuran per kapita atau perorangan, bukan rumah tangga.

Keempat, ada perbedaan GK antar provinsi yang dirinci atas wilayah perkotaan dan perdesaannya. Kelima, ukuran internasional mengacu pada kurs paritas daya beli, bukan kurs pasar yang sedang berlaku.

BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar dalam mengukur kemiskinan. Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.

Batas kemampuan direpresentasikan oleh Garis Kemiskinan (GK). Dengan demikian, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan.

GK nasional pada September 2020 sebesar Rp458.947 per kapita per bulan. Terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) sebesar Rp339.004, dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) sebesar Rp119.943. Ketiganya mengalami kenaikan dibanding Maret 2020 ataupun September 2019.

GK berubah sesuai kondisi waktu survei, yang nilainya sejauh ini selalu meningkat. Terutama karena terjadinya inflasi pada berbagai komoditas yang dipakai sebagai pengukur, serta faktor perubahan pola konsumsi.

Secara teoritis, BPS menentukan GK terlebih dahulu, baru kemudian menghitung jumlah penduduk yang berada di bawah dan di atasnya. Dalam praktiknya, pengumpulan data dilakukan secara relatif bersamaan. Hanya urutan pengolahan disesuaikan kerangka teoritis.

GK, GKM, dan GKMN mengalami kenaikan yang lebih tinggi dibanding tingkat inflasi umum berdasar Indeks Harga Konsumen (IHK) pada kurun waktu yang sama.

Bisa dikatakan, penduduk miskin menghadapi kenaikan harga-harga yang lebih tinggi dibanding keseluruhan masyarakat. Hal itu antara lain disebabkan oleh porsi komoditas makanan yang besar. Padahal IHK kelompok makanan memang cenderung lebih tinggi dari IHK umum.

Penduduk miskin sehari-harinya hidup dalam suatu keluarga atau rumah tangga miskin (RTM). BPS menginformasikan, rata-rata RTM memiliki 4,83 anggota pada September 2020. Atas dasar itu, BPS menyebut GK RTM secara nasional adalah sebesar Rp2.216.714 per rumah tangga per bulan.

GK RTM ini tampak lebih “realistis” bagi publik untuk membayangkan ukuran kemiskinan. Misalnya penggambaran tentang berapa pengeluaran atau konsumsinya. Efektivitas dan efisiensi tiap rupiah pengeluaran cukup berbeda, jika diasumsikan dilakukan perorangan atau unit rumah tangga.

Garis kemiskinan secara nasional sebenarnya merupakan ukuran rata-rata dan dipakai untuk analisa saja. Penentuan seseorang miskin atau tidak oleh BPS sebenarnya memakai GK propinsi. GK Propinsi yang dipakai pun mengikuti domisili penduduk yang bersangkutan, di perkotaan atau perdesaan.