Scroll untuk baca artikel
Analisis Awalil Rizky

Salah Paham Atas Garis Kemiskinan

Redaksi
×

Salah Paham Atas Garis Kemiskinan

Sebarkan artikel ini

Sebagai contoh provinsi DKI Jakarta dan Jawa Tengah. GK DKI Jakarta hanya satu, dianggap semua penduduk di wilayah perkotaan, tidak ada GK perdesaannya. Yaitu sebesar Rp683.339 per kapita per bulan pada September 2020. Jauh lebih tinggi dari GK nasional sebesar Rp458.947, atau GK perkotaan nasional yang sebesar Rp475.477.

Sementara itu, GK Jawa Tengah terdiri dari GK provinsi sebesar Rp398.477, GK perkotaannya sebesar Rp404.451 dan GK perdesaannya sebesar Rp392.216. Ketiganya lebih rendah dari GK nasional.

Dari kedua contoh tersebut, bisa mengerti bahwa domisili penduduk amat penting bagi penentuan status miskin atau tidaknya. Dan akan lebih baik jika dibayangkan sebagai unit rumah tangga miskin. 

Garis kemiskinan dengan pendekatan serupa BPS yang banyak dipakai dalam perbandingan antarnegara adalah ukuran dari Bank Dunia. Dahulu yang paling popular adalah ukuran kemiskinan absolut berupa pengeluaran sebesar US$1,90 per kapita per hari. Bahkan, dalam diskusi publik di Indonesia, ukuran ini masih sering disebut.

Perlu diketahui bahwa berbeda dengan BPS, Bank Dunia memiliki beberapa ukuran yang disesuaikan dengan “kelompok pendapatan negara” sesuai klasifikasi mereka. Pertimbangannya terutama terkait perbedaan “taraf hidup” sosial ekonomi secara umum dari negara yang berbeda jauh tingkat pendapatan rata-rata per kapitanya.

Bagi negara-negara miskin (lowincome countries) dipakai ukuran US$1,90 per kapita per hari. Bagi negara-negara berpendapatan menengah bawah (lower middleincome countries) sebesar US$3,20. Dan bagi negara-negara berpendapatan menengah atas (upper middleincome countries) sebesar US$5,50.

Dalam ukuran tersebut, Bank Dunia tidak menerapkan kurs pasar ataupun resmi dari negara yang bersangkutan. Melainkan kurs yang telah disesuaikan dengan paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP). PPP dianggap mencerminkan tingkat inflasi dan perbandingan nilai tukar secara riil.

Jika membandingkan dolar AS dan rupiah dalam perspektif PPP, maka yang ingin diketahui adalah daya beli relatif kedua mata uang atas sejumlah barang dan jasa. Menunjukkan berapa rupiah yang diperlukan di Indonesia untuk membeli barang dan jasa (dengan jenis dan jumlah yang sama) yang dapat dibeli dengan harga 1 dolar di Amerika Serikat.

PPP sendiri disusun berupa indeksasi atas kondisi banyak negara serta memiliki tahun dasar (baseline) tertentu. Bank Dunia telah menetapkan kurs PPP berdasar tahun 2017. Namun data perbandingan yang lebih lengkap yang dipublikasikan, masih PPP tahun dasar 2011.

Perlu diketahui, publikasi Bank Dunia mengenai jumlah penduduk miskin Indonesia dengan ukuran itu tetap berdasar data mentah dari BPS. Hanya garisnya yang diubah sesuai perhitungan dengan batas garis dan kurs PPP pada masing-masing tahun.

BPS sendiri sebenarnya memiliki prakiraan konversi kurs PPP tersebut, namun tidak dipublikasi secara luas. Sebagai contoh, perkiraan konversi 1 US$ PPP 2011 pada tahun 2016 sebesar Rp4.985,7, dan pada tahun 2018 sebesar Rp 5.341,5. Belum ada informasi prakiraan BPS untuk tahun 2019 dan 2020. Penulis memprakirakan di kisaran Rp5.700. Tampak jelas, jauh berbeda dengan kurs pasar ataupun kurs resmi.

Ukuran Garis Kemiskinan Nasional (GKN) pun dapat dinyatakan dalam US$ PPP 2011. Pada tahun 2016 (Maret) yang sebesar Rp364.527 per kapita per bulan setara dengan US$2,44 PPP per hari. Dan GKN 2018 (Maret) sebesar Rp401.220 per kapita per bulan setara US$2,50 PPP per hari.

Dengan kata lain, BPS tidak memakai salah satu dari ketiga ukuran Bank Dunia di atas. Melainkan diantara ukuran US$1,90 dan US$3,20. Tentu saja, jika memakai ukuran US$1,90 PPP 2011, tingkat kemiskinan Indonesia hanya 4,6% pada tahun 2018. Penulis memprakirakan, hanya di kisaran 5,5% pada tahun 2020.