“Kenapa dia terancam dirajam?”
“Karena dia perempuan pendosa.”
“Kenapa tidak segera dirajam?”
Pengeksekusi terdiam. Ia menyeringai, apa yang bergejolak di balik tatapan tajam Pengeksekusi yang berubah meredup. Gumamnya, siapa diantara kalian yang bukan pendosa, yang punya hak merajam wanita yang dikatakan pendosa ini.
Seperti mafum apa yang melindap dalam pikiran Si Tukang Pedati, Perempuan Pendosa itu menyunggingkan satu senyuman kemudian melangkah. Dalam todongan moncong-moncong senjata ia pun mengikuti langkah Perempuan Pendosa yang bagai terbawa kesiur angin. Pakaian compang camping itu seperti ribuan tangan melambai-lambai oleh angin gurun yang semakin meniup santer.
ADA suara mengeriyut di balik gunung, seperti keriyut kayu terombang-ambing angin. Ia segera mengenali itu pedatinya yang menyepi-nyepi. Langkahnya yang selalu tertinggal mencergas, saat Perempuan Pendosa mengulurkan tangan dan menggandeng tangannya. Membimbingnya meloncati batu-batu, hingga ke balik gunung. Selanjutnya suara keriyut kayu seperti mengiringi nyanyian terbawa kesiur angin di perbukitan. Seperti nyanyian anak gembala di punggung sapi dengan buluh perindunya, membuat si sapi tidak lagi meronta. Matahari lengser ke ufuk barat, dan gelap mulai menyaput malam tanpa bulan. Hanya bintang-bintang bertaburan, mirip tetes-tetes keringat dalam bayang-bayang bidadari dan para malaikat pecinta segala yang hidup.
Suara buluh perindu itu, memang menjadikan sapi yang terpancang di tengah keluasan laut berhenti melenguh dan meronta. Membuat Pengeksekusi yang kehilangan jejak buruannya mafum, apa yang sedang terjadi. Aneh, tanpa dibuahi si sapi hamil dan melahirkan anak-anak dalam keadaan terpasung. Anak-anak pedet itu bergelantungan di tiang-tiang bagang, sambil menyusu dengan kerakusan lapar dan dahaga. Si induk yang tubuhnya terpancang menunjukkan keikhlasan, airmatanya berlinangan bagai ibu rindu membelai dan membisiki. Tempias ombak memberi warna pada para pedet, seperti pelangi merah-jingga-kuning-hijau-biru-nila-ungu. Hamparan laut melandai, bagai tangan alam menerima kehadiran ke haribaan keiradatan.
Aneh, warna pelangi itu membias pada tubuh Perempuan Pendosa.
“Mulai sekarang kau bukan lagi pendosa,” kata Tukang Pedati.
“Sejak dulu aku merasa bukan pendosa.”
“Bukan pula pelacur.”
“Merekalah yang memperdayaku, dan mereka yang menyebut diriku pendosa.”
“Mereka juga yang mengancam merajammu?”
Angin tetap membisu.
Wanita Pelangi itu menundukkan muka, oleh kesiur angin bagai membisikkan nyanyian bidadari.