Sastra lebih banyak disikapi sebagai nilai. Khususnya nilai estetika atau keindahan. Keindahan ini lebih ditinggikan lagi sebagai filsafat keindahan. Dari sini sastra menjadi sesuatu yang berat. Berat dan jauh tinggi dari masyarakat dan bangsa.
Seseorang baru disebut sastrawan kalau karyanya dianggap berat. Diakui bernilai tinggi, meski belum dibaca. Sastra dan sastrawan jadi semacam menara, dan masyarakat tak acuh di bawahnya. Masyarakat terus bekerja dalam keseharian.
Dari sini orang-orang yang disebut sastrawan makin nekad. Mereka melakukan hal aneh-aneh dalam berkarya. Makin meninggikan bahasa dan menggelapkan isi karya. Lebih aneh penerbit besar mau menerbitkan karya-karya aneh itu. Sungguh tidak masuk akal pikiran dan tindakan mereka.
Lalu bersama kritikus atau juri mereka mengklaim karya dan sastrawan ini sudah bertaraf nasional bahkan internasional. Ini membuat para sastrawan merasa bangga tentu. Padahal mereka pun sudah membuat penelitian bahwa, pembaca sastra tidak ada 5% dari penduduk negeri ini.
* * *
Lebih aneh, kalau ada karya yang bahasanya sederhana dan isinya bisa dipahami masyarakat, dianggap bukan karya sastra. Bahkan mereka menganggap karya yang demikian bermutu rendah. Atau dengan istilah mereka sastra pop. Padahal istilah mereka benar, karya-karya itu popular sekaligus populer.
Pada 1970-1990-an bermunculan novel-novel pop. Antaralain dari Motinggo Boesje, Asbari Nurpatria Krisna, Marga T, Mira W. Disusul Ashadi Siregar, Teguh Esha, Norcamarendra Massardi. “Cintaku di Kampus Biru” Ashadi, “Ali Topan Anak Jalanan” Teguh, “Sekuntum Duri” Norca bahkan best seller dan difilmkan oleh sutradara kenamaan kita.
Di bidang puisi lebih tragis lagi. Ialah saat hadiah puisi terbaik dari Dewan Kesenian Jakarta untuk penyair Yudhistira ANM Massardi dicabut. Ialah karena puisi Yudhis disejajarkan dengan sajak mantra Sutardji Calzoum Bachri, dan mendapat protes keras dari Sutardji dan Abdul Hadi WM.
Ada baiknya karya yang oleh Yudhis sendiri disebut puisi dangdut kita tulis lengkap di sini:
Sajak Asbak di Meja
Dilihat dari beberapa segi, asbak di meja memang lebih pantas
jika dibanding dengan keranjang sampah. Meski pun yang terakhir
lebih punya manfaat ganda.
Dan rasa persahabatan nampaknya lebih tertampung dalam asbak,
bukan di keranjang sampah, yang mirip ruang ngobrol antara kita semua.
Dan asbak di meja, ketika kita mematikan puntung di dalamnya,
seringkali seperti mulut kita mengunyah segala
persahabatan dan
kemudian segera memuntahkannya, karena terasa pahit.
1975
* * *
Tampak sastra tidak ditentukan oleh masyarakat tapi oleh kritikus. Lalu kritikus menggunakan metode kritik tertentu untuk diterapkan ke karya sastra kita. Kalau pas disahihkan sebagai karya sastra, kalau meleset dinyatakan tidak memenuhi standar estetika. Lalu estetika mana yang dijadikan ukuran.
Dalam Sastra Kontekstual 1974 Arief Budiman menengarai, kita disarati karya yang kebarat-baratan. Ini agaknya terjadi karena sastra ditentukan oleh kritikus, dan para kritikus mengepas teori barat untuk dipas-paskan di tubuh dan jiwa karya sastra kita itu.***