BERASA aman, akhirnya. Bagaimana tidak, banyak kalangan menggambarkan betapa situasi kini merupakan kondisi gawat darurat. Kita dikepung oleh banjir informasi. Kita didera oleh pandemi Covid-19. Namun, kita masih tetap bisa bernapas lega. Tetap beraktivitas, meski berkurang kuantitasnya, lantaran tetap harus taat dalam koridor protokol kesehatan.
Pak Muh, dalam Lantai-Lantai Kota, menyitir ayat untuk mengonter keluhan-keluhan kita yang kerap memaki kenyataan, “Sungguh telah kami jadikan manusia dalam sebaik-baiknya martabat. Kemudian kami mengembalikan ia kepada serendah-rendah tingkatan. Kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh. Baginya pahala yang tiada habis-habisnya.” (At-Tin: 4-6).
Pak Muh memandang bahwa ketinggian martabat manusia terletak pada kebebasan mendayagunakan potensi diri dan fasilitas alam. Namun, bila kebebasan itu diacu oleh hawa nafsu yang tanpa batas, niscaya sang kebebasan itu pun lenyap. Seperti, kita bebas saja untuk bunuh diri atau mencelakai orang lain, tapi kemudian kebebasan kita akan terbang ke balik kuburan atau lembaga pemasyarakatan.
Dengan demikian, sesuai dengan ketinggian nilainya, kebebasan itu harus dijaga dan dipelihara supaya lestari di dalam diri kita. Dan, cara terbaik untuk mempertahankannya adalah dengan beriman kepada Allah dan berperilaku baik kepada sesama.
Susahkah? Sepertinya tidak! Kita telisik sebentar, betapa kita sadar atau berhasrat melakukan sesuatu, itu lebih karena ada tujuan akhir yang hendak kita raih. Apa pun itu tujuannya. Nah, alangkah menarik sekaligus terselamatkan diri kita, sekira tujuan akhir kita itu adalah Tuhan. Dan, tujuan itu mewujud dalam identitas.
Jadi, pertama-tama, setelah jelas tujuan, kita tandaskan identitas, bahwa kita adalah hamba Allah. Bahwa kita adalah abdi Allah, pesuruh Tuhan. Maka, jika tujuan kita adalah sesuatu di luar Tuhan, misalnya suku, negara, atau pemerintah, otomatis kita menjadi abdi suku Jawa, abdi negara, dan abdi pemerintah.
Nabi saw. mencontohkan bagaimana menumbuhkan kesadaran pengabdian kepada Tuhan. Sang Nabi agung menjalani salat wajib lima kali sehari semalam. Dalam salat, terulang 17 kali kalimat “kepada-Mu kami mengabdi”. Terulang dan terus terulang, dalam rangka penumbuhan kesadaran ketuhanan.
Sehingga, dengan salat kita termantapkan hanya akan mengabdi kepada Tuhan. Kita telah menemu identitas, bukan (semata) sebagai orang Jawa, sebagai warganegara Indonesia, sebagai penduduk bumi, dan seterusnya dan sebagainya. Kita adalah hamba Allah, dan memandang yang lain pun juga sebagai sesama hamba Allah. Sebagai yang berkepentingan kepada yang lebih dari segala, bukan kepentingan sesaat, bukan kesenangan sementara.
Sesama yang berkepentingan sama, Tuhan. Mewujud saling meringankan dalam rangka saling memudahkan untuk mendapat perkenan Tuhan. Dus dengan demikian, perlombaan antarkita pun bukan lagi besar-besaran rumah, bukan lagi banyak-banyakan uang, banyak-banyakan mobil, pengikut, yang nge-like, dan lain sebagainya.
Perlombaan antarkita adalah seberapa sering kita memudahkan orang lain untuk bersaksi Tuhan itu ada. Artinya, Tuhan Mahabajik, berarti seberapa banyak kita berbuat kebajikan kepada orang lain. Seberapa bajik kita.