Sementara mereka bercakap, saya si sakit seolah-olah hanya dijadikan “simbol” atas apa yang sedang terjadi di lingkungan saya, yang sedang coba digali Nenek Painem itu. Kalau semisal benar ada tetangga kami yang mati, Nenek Painem akan memijat saya sekeras mungkin. Misalnya lagi, bila diketahui tempo hari bapak saya menendang kucing, pijatannya makin gila. Saya kerap dibuat menangis. Sialnya, selalu ada saja jawaban afirmatif dari orangtua saya atas pertanyaan Nenek Painem.
Lewat percakapan yang terdengar aneh tersebut, Nenek Painem seperti sedang meraba-raba sistem sosial dan ekologis di tempat kami tinggal. Dia mencari jiwa kolektif lingkungan kami, yang oleh karena itu juga memiliki kesadaran kolektif. Kami kemudian berusaha diyakinkannya, bahwa kami adalah individu yang terlibat dalam pola-pola mental kolektif ini, membentuk pola itu, dan pada gilirannya ikut terpengaruh pola itu.
Pertanyaan-pertanyaan dari Nenek Painem bersifat sosial. Tak satupun dia singgung faktor fisik atas tubuh sakit saya. Namun, vonis selalu bisa dia jatuhkan. Bahwa rupanya, penyakit datang kepada saya dikarenakan kondisi sosio-kultural di lingkungan saya tinggal. Ada semacam ketidakseimbangan kosmis yang menjadikan saya sedemikian menderita. Ada hubungan, misalnya, antara suhu panas tubuh saya dengan roh tentangga kami yang belum lama mati.
Sehingga dari Nenek Painem, saya dan orangtua saya kemudian tahu, bahwa apa yang saya alami adalah manifestasi tak terelakkan dari tatanan benda-benda atau kejadian-kejadian yang lebih besar. Mungkin hampir mirip dengan konsepsi sebab-akibat dari Budhisme. Hanya saja, konsepsi Nenek Painem agak lebih rumit dan berjenjang, sebab konsepsinya melibatkan banyak variabel.
Metode yang dilakukan Nenek Painem, mungkin bisa dibenarkan secara definisi terapi: Tujuan dasar terapi adalah memulihkan keseimbangan pasien. Meski sampai kapanpun, metodenya agak sukar diterima akal rasional. Tentu kita pun tidak terkejut bila ilmu modern menyebut hal-hal syamanistik itu sebagai samar, misterius, perlu dicurigai, dan tidak ilmiah.
Tapi hari-hari ini saya temukan syaman seperti Nenek Painem masih ada. Ajaran spiritual tua itu rupanya tetap diminati. Bahkan yang lebih mengejutkan, psikoterapi modern mulai menggunakan metode syaman dalam teknik terapinya. Keilmuan modern membakukan teknik syamanisme dengan istilah-istilah ilmiah. Praktiknya? Sama dengan cara-cara Nenek Painem. Para psikolog akan bertanya soal-soal semacam kebersamaan kelompok, psikodrama, analisis mimpi, sugesti, hipnotis, pencitraan terbimbing, dan terapi-terapi psikodelik.