Scroll untuk baca artikel
Opini

Sebuah Risalah tentang Syamanisme

Redaksi
×

Sebuah Risalah tentang Syamanisme

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ananta Damarjati

Barisan.co – Saya sakit-sakitan waktu kecil. Orangtua sering membawa saya ke Nenek Painem. Dia dukun anak. Sekali waktu dia menyarankan agar nama saya diganti: Ananta Damarjati menjadi Waluyo. Atau kalau tidak, saya akan tetap sakit-sakitan.

Menurut Nenek Painem, penamaan Ananta Damarjati itu keliru. Dia bersikeras nama Waluyo lebih imun terhadap penyakit. Tapi orangtua saya bergeming. Nama saya masih sedia kalanya sampai sekarang.

Hari ini saya tahu bahwa masa kecil Koesno Sosrodihardjo juga sedemikian sakit-sakitan. Dukun anak yang menanganinya menyarankan hal yang sama. Bedanya, orangtua Koesno setuju. Namanya lantas diganti, dan Koesno si sakit tidak ada lagi. Yang ada ialah Soekarno yang sehat, yang lebih kita kenali sebagai Bung Presiden.

Jadi, apakah mengganti nama balita termasuk metode penyembuhan?

Dulu juga ada masanya saya dibawa ke dokter kalau sakit. Ruangan dokter bau obat. Dokter langsung membaringkan saya di kasur, menyuruh saya mangap untuk dia cek amandel, mengambil termometer, mengukur detak jantung dengan stetoskop. Dokter berupaya mencari faktor biologis atas apa yang sedang saya derita. Seterusnya dia temukan sumber penyakitnya ada di sini, atau di situ, atau karena kebanyakan makan anu. Serampung proses diagnosa, kami pulang membawa bejibun obat.

Dokter biayanya mahal. Dan malangnya, seringkali saya sakit saat keuangan keluarga tidak baik. Ujian betul. Tapi usaha penyembuhan tetap harus dilakukan. Maka dari itulah, pergi ke dokter acapkali bukan pilihan utama, melainkan, lagi-lagi, Nenek Painem: Dia satu-satunya penduduk bumi yang memanggil saya Waluyo. Nenek Painem, dalam terminologi ilmu modern barangkali dinamai shaman, atau syaman.

Nenek Painem, yang sudah begitu dipercaya sebagai penyembuh anak, yang dijadikan pilihan par excellence banyak orang, tidak pernah mematok biaya pada orangtua manapun yang membawa anaknya ke dia.

Nenek Painem tak punya stetoskop menggantung di lehernya. Metodenya pun berbeda dari dokter. Pertama-tama, dia menyuruh saya membuka baju, menelungkupkan saya di dipan, lalu memijat punggung saya pelan-pelan. Sambil memijat, Nenek Painem seringkali membuka percakapan dengan orangtua saya yang duduk tak jauh, “Apakah ada tetangga yang mati?”

Pertanyaan aneh kepada orangtua saya itu, dia lanjutkan dengan pertanyaan aneh lainnya, misal: Apakah kalian berdua harmonis? Apakah ada saudara yang sedang kesusahan? Apakah belakangan ini salah satu dari kalian mengalami mimpi buruk? Apakah ada pertengkaran terjadi di lingkungan kalian? Atau, apakah kalian habis menyakiti binatang?

Sementara mereka bercakap, saya si sakit seolah-olah hanya dijadikan “simbol” atas apa yang sedang terjadi di lingkungan saya, yang sedang coba digali Nenek Painem itu. Kalau semisal benar ada tetangga kami yang mati, Nenek Painem akan memijat saya sekeras mungkin. Misalnya lagi, bila diketahui tempo hari bapak saya menendang kucing, pijatannya makin gila. Saya kerap dibuat menangis. Sialnya, selalu ada saja jawaban afirmatif dari orangtua saya atas pertanyaan Nenek Painem.

Lewat percakapan yang terdengar aneh tersebut, Nenek Painem seperti sedang meraba-raba sistem sosial dan ekologis di tempat kami tinggal. Dia mencari jiwa kolektif lingkungan kami, yang oleh karena itu juga memiliki kesadaran kolektif. Kami kemudian berusaha diyakinkannya, bahwa kami adalah individu yang terlibat dalam pola-pola mental kolektif ini, membentuk pola itu, dan pada gilirannya ikut terpengaruh pola itu.

Pertanyaan-pertanyaan dari Nenek Painem bersifat sosial. Tak satupun dia singgung faktor fisik atas tubuh sakit saya. Namun, vonis selalu bisa dia jatuhkan. Bahwa rupanya, penyakit datang kepada saya dikarenakan kondisi sosio-kultural di lingkungan saya tinggal. Ada semacam ketidakseimbangan kosmis yang menjadikan saya sedemikian menderita. Ada hubungan, misalnya, antara suhu panas tubuh saya dengan roh tentangga kami yang belum lama mati.