Scroll untuk baca artikel
Opini

Ada Kebebasan dalam Pembatasan

Redaksi
×

Ada Kebebasan dalam Pembatasan

Sebarkan artikel ini

Pada tanggal 4 Juni 2020 Anies Baswedan melonggarkan pembatasan di Jakarta. Dengan catatan, kalau dalam masa longgar itu kasus positif Covid-19 melonjak, maka kebijakan pelonggaran tersebut dibatalkan. Senin, 14 September 2020, Anies Baswedan memberlakukan PSBB total.

Semua orang sepakat dengan Anies, atau setidaknya, mereka yang menganggap kesehatan lebih penting dari ekonomi. Separuh lainnya, termasuk para menteri kabinet Presiden Jokowi, menyatakan tidak setuju pembatasan total. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menganggap jatuhnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) lebih dari 5% disebabkan ide Anies demikian.

Saya ingin sehat, dan saya kira Anda juga demikian. Tapi, apa yang dilakukan menteri-menteri kita sepatutnya membuat kita cemas dan bertanya-tanya. Apa sih mau mereka, kok tampaknya tidak tertarik menyelamatkan kehidupan orang banyak?

Tanpa masyarakat terbebas dari ancaman wabah, meskipun ekonominya layak, kita tahu sejatinya hidup kita tetap dalam ancaman. Sesehat-sehatnya orang hari ini, tidak ada yang tahu apakah besok ia tetap berharga dengan nyawanya, atau akan melengkapi ‘statistik’ virus Corona.

Betul bahwa pandemi membuat kita kehilangan kemampuan mencapai sesuatu yang berharga, seperti uang. Tapi jelas kita punya alasan untuk tidak hanya memikirkan kehidupan yang ingin kita jalani. Melainkan juga kebebasan yang secara aktual harus kita perjuangkan bersama. Untuk ini, mari kita sedikit bersimulasi tentang aktivitas seorang Pemuda E.

Katakanlah simulasi pertama, Pemuda E punya rencana berangkat kerja ke kantor lebih awal, lebih rajin, agar bisa segera menikmati waktu bersama keluarga. Akhirnya ia berhasil mewujudkan rencananya. Di simulasi kedua, Pemuda E memiliki rencana yang sama. Bedanya, ada virus di sekitar kantornya yang memaksanya harus terus berhati-hati, sehingga pekerjaannya selesai lebih lama. Di simulasi ketiga, masih dengan rencanya yang sama, Pemuda E dipaksa oleh pemerintah bekerja dari rumah, atau kalau tidak, ia terancam nyawanya oleh virus mematikan.

Apa beda ketiganya? Di simulasi pertama, Pemuda E punya semua kebebasan untuk memilih yang ia kehendaki. Simulasi kedua ia kehilangan kebebasan dan rencananya gagal. Simulasi ketiga ia memang punya waktu di rumah lebih banyak, tapi ia melakukannya karena terpaksa.

Kita semua adalah Pemuda E pada cerita kehidupan kita masing-masing. Dan sebagai Pemuda E yang realistis, menaati anjuran pemerintah tentu bukanlah hal yang berat. Walaupun kebebasan kita berkurang, penting untuk memahaminya dalam ide-ide tentang perlindungan diri sendiri.

Seperti kata Presiden Jokowi, kesehatan itu penting, yang dengan sendirinya berarti melindungi diri agar tetap sehat juga penting. Secara aktual—dan sebetulnya tak perlu ditulis—apa yang bisa kita lakukan sekarang untuk mewujudkan itu adalah bergantung kebijakan publik sebagai satu faktor pendukung. Dalam pada itu, saya kira Anies Baswedan sudah mengeluarkan kebijakan yang benar meski terlambat.

Anies Baswedan membatasi aktivitas kita sekaligus memberi kita secercah kebebasan dari ancaman virus Corona. Banyak orang hanya mempersoalkan yang disebut pertama, tanpa menyadari bahwa yang sebetulnya penting adalah yang kedua. []