BARISAN.CO – Menurut sejarah, kusta telah menginfeksi manusia lebih dari ribuan tahun yang lalu. Penyakit ini ditafsirkan sebagai kutukan dewa, hukuman dosa, atau penyakit keturunan.
Namun, dokter asal Norwegia, Gerhard Hansen menyangkal tafsiran tersebut. Pada tahun 1873, Gerhard melihat basil kusta di bawah mikroskopnya. Sebagai penghormatan atas penelitiannya, sejarah menjadi nama belakangnya “Hansen” sebagai nama kusta.
Jenis bakteri Mycobacterium leprae (M. leprae) yang tumbuh lambat menyebabkan penyakit ini. Belum ada kejelasan pasti cara penyakit ini menular. Ketika penderita kusta batuk atau bersin, mereka bisa menyebarkan droplet yang mengandung bakteri Mycobacterium (M) leprae.
Saat itu, belum ada obat untuk menyembuhkan kusta. Sehingga, menimbulkan kengerian dan ketakutan di belahan dunia. Injeksi minyak Chaulmoogra termasuk salah satu perawatan bagi beberapa pasien. Sayangnya, khasiatnya tidak cukup terbukti untuk jangka panjang dan suntikannya terasa menyakitkan.
Di tahun 1912, Layanan Kesehatan Masyarakat Amerika Serikat mendirikan pusat studi dan pengobatan kusta di Carville, Louisiana. Itu menjadi pusat penelitian kusta utama dan unit perumahan bagi pasien kusta yang sering dikucilkan di tempat lain.
Meski, kusta dikelola secara berbeda di masa lalu, terobosan pertama terjadi di tahun 1940-an dengan pengembangan obat dapson. Durasi pengobatan berlangsung bertahun-tahun hingga bisa seumur hidup.
Tahun 1960-an, dimulai pengembangan resistensi terhadap dapson. Satu-satunya obat anti-kusta pada waktu itu. Di awal 1960-an, rifampisin dan klofazimin ditemukan dan ditambahkan ke rejimen pengobatan yang diberi label sebagai terapi multidrug (MDT).
Pada tahun 1981, WHO merekomendasikan MDT diberikan secara cuma-cuma. The Nippon Foundation mendanainya dan sejak tahun 2000 disumbangkan melalui perjanjian dengan Novartis hingga tahun 2025.
MDT sendiri terdiri dari dapson, rifampisin, dan klofazimin. Perawatan berlangsung selama 6 bulan untuk pauci-bacillary dan 12 bulan bagi kasus multi-basiler. MDT dapat membunuh patogen serta menyembuhkan pasien.
Selama 20 tahun terakhir, lebih dari 16 juta pasien kusta telah diobati melalui MDT. Berdasarkan data WHO, kasus baru di dunia berkurang dari tahun 2019 sebanyak 202.256 kasus baru menjadi 127.558 kasus baru di tahun 2020.
Gejala dan Penyebab Kusta
Kusta disebabkan oleh jenis bakteri M. leprae yang tumbuh lambat. Belum ada kejelasan pasti cara penyakit ini menular. Namun, para peneliti menyebut droplet penderita kusta yang batuk atau bersin bisa menyebarkannya. Sehingga, para peneliti menyarankan untuk menghindari droplet dari orang yang terinfeksi.
Perawatan pasien dengan antibiotik yang sesuai bisa menghentikan penderita kusta menyebarkan penyakit itu.
Mengutip Healthline, gejala utama dari kusta adalah melemahnya otot, mati rasa di tangan, lengan, kaki, dan tungkai, serta lesi kulit yang berakibat menurunnya sensasi sentuhan, suhu atau nyeri. Saat lesi kulit terjadi, seseorang tidak bisa sembuh bahkan setelah beberapa minggu dan warna kulitnya lebuh terang dari biasannya atau mungkin memerah akibat peradangan.
Penyakit ini menurut WHO memiliki masa inkubasi rata-rata selama lima tahun. Gejalanya mungkin tidak langsung muncul selama 20 tahun.
Banyak orang yang terkena kusta di dunia, tetapi penyakit ini tidak terlalu menular. Dengan perawatan yang tepat dapat mencegah kerusakan tubuh lebih lanjut dan mencegah penyebaran penyakit ke orang lain. [ysn]