Untuk itulah Kerajaan Belanda kemudian merasa perlu memperbaiki corengan citra internasionalnya. Selanjutnya, dilakukanlah pendekatan afirmatif untuk menunjukkan kepedulian mereka terhadap masyarakat koloni. Seperti dicatat Willard A. Hanna, Kerajaan Belanda memulai kebijakan etis, dengan menyiapkan orang-orang Belanda untuk menjalankan peran modernisasi kepada masyarakat Bali.
Tapi balik itu, Belanda tetap saja Belanda. Jika ada sumber daya yang dapat diuangkan, maka Belanda akan menguangkannya. Dan dengan segala eksotisme yang ada di Pulau Dewata, perhimpunan turisme (VTV) yang didirikan di Batavia seketika itu mendapatkan relevansinya. VTV kemudian mempromosikan Bali sebagai destinasi wisata.
Iklan ajakan berkunjung kepada warga Belanda yang tidak tinggal di Hindia-Belanda gencar disebar. VTV juga melakukan promosi kepada masyarakat berbahasa Inggris di Eropa, Asia, Australia maupun Amerika sebagai sasaran promosi.
Selain itu, pada tahun 1929 diterbitkan pula buku panduan berbahasa Prancis berjudul Java, I’Eden sous les tropiques; Bali, I’lle de Beauté dan Visitez Sumatra le pays des contrastes yang diterbitkan sebanyak 60.000 eksemplar dan dikirimkan ke berbagai alamat.
Pada saat itulah, batik, mulai menjadi perhatian Eropa Daratan, karena selalu satu paket ditampilkan dalam iklan-iklan wisata Bali. Motif-motif kain batik populer lewat sebutan semacam ‘oriental’, ‘exotic’, ‘vivid’, ‘dangerous’, dan ‘rainbow’ (Steele, 1985; 227-234).
Sering waktu, batik semakin berkembang sejalan dengan kebutuhan turis akan pakaian santai, yang: seperti pakaian Hawaii, tapi dengan referensi Indonesia.