BARISAN.CO – Akuisisi sejumlah lembaga riset non-kementerian ke dalam satu wadah bernama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terus digugat sejumlah peneliti, perekayasa, komunitas intelektual dan juga masyarakat.
Dalam pertemuan Masyarakat Pemajuan Iptek dan Inovasi (MPI) Nasional dengan Komisi VII DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (28/3/2022), terungkap bahwa akuisisi lembaga riset tersebut bukan melahirkan harapan justru membuat para peneliti dan perekayasa dihadapkan pada masa depan tak pasti.
“Ini karena proses ‘genocide peneliti dan perekayasa’ di BRIN terus terjadi,” tulis MPI dalam pernyataan resmi yang diterima Barisan.co, Selasa (29/3/2022).
Rapat yang digelar secara hibrid (offline dan online) juga melibatkan komunitas MPI di Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta dengan tajuk “Lima Rapor Merah BRIN”.
Mantan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Maxensius Tri Sambodo dalam pernyataannya menyebut lima rapor merah BRIN setelah meleburkan BPPT, LIPI, Lapan, dan Batan, Kementerian Riset dan Teknologi dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman pada 1 September 2021.
Pertama, transisi manajemen dan birokrasi yang tidak berjalan baik. Ini menyebabkan sumber daya tidak termanfaatkan secara optimal. Banyak peneliti dan perekayasa saat ini masih menunggu penempatan.
“Ini kerugian yang besar bagi bangsa. Kita temukan manajemen transisi dan birokrasi yang sangat jauh dari good governance. Sangat berbahaya dalam upaya mendorong profesionalisme di antara periset,” ucap Max.
Kedua, sentralisasi dan birokrasi yang kian rumit. Kerapatan antara periset, bahan, peralatan, anggaran, dan operator selama ini berjalan baik dalam komando kepala balai atau pusat. Tapi kini terdisrupsi dan terdisintegrasi. Ini menjadi problem untuk mengejar kerja yang cepat, efektif, efisien, dan responsif serta telah terbukti berhasil.
“Saat ini kita masih dalam proses forming dan storming. Entah sampai kapan kita keluar dari situasi ini. Kapan kita warming dan performing. Padahal, banyak masalah bangsa yang harus diselesaikan segera,” kata Max.
Ketiga, skema program tanpa visi, misi, arah, dan target yang jelas. Berpuluh apel pagi telah diikuti sivitas BRIN. Namun, jelas Max, sampai saat ini banyak yang tidak menangkap arah ke depan yang jelas.
“Pencampuran antara peneliti dan perekayasa, asal BPPT misalnya, membuat inovasi produk tidak jelas,” ujar Max.
“Saya sudah cross check lembaga riset di luar negari lewat web scimago, terutama China dan Rusia. Kok kita ini semrawut ngak jelas merujuk kemana. Terus terang saya sangat prihatin,” sambungnya.
Keempat, menggantung program strategis nasional yang diampu eks LPNK sebelumnya. Padahal, program sudah setengah jalan. Salah satunya program pengkajian dan penerapan teknologi Indonesia Tsunami Early Warning System. Program drone male juga dibelokan, dari kombatan ke sipil.
Kelima, pelemahan visi dan penyelenggaraan pemajuan iptek. Yang paling kontras adalah perbedaan visi pimpinan BRIN dengan visi Presiden Jokowi. Presiden meminta BRIN berburu inovasi dan hilirisasi produk. Sebaliknya, kata Max, pimpinan BRIN menghindari penciptaan produk. Hanya mengejar jurnal.
Pimpinan rombongan MPI, Hammam Riza, menyatakan lima rapor yang disampaikan koleganya jauh dari pengetahuan publik. Aneka masalah itu hanya dikenali komunitas kecil peneliti-perekayasa.
“Status PNS membuat mereka jadi kelompok mayoritas diam. Kami minta Komisi VII untuk menjamin hak-hak kami sebagai PNS dilindungi,” ujar mantan Kepala BPPT itu.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Maman Abdurrahman yang memimpin rapat cepat merespons permintaan Hammam. “Saya jamin, kalau ada kriminalisasi kepada Bapak-bapak dan Ibu, saya yang akan di depan. Golkar dan fraksi lain juga pasti akan bersikap sama,” ujar politikus Partai Golkar itu.