BARISAN.CO – KH Wahid Hasyim adalah sosok penting dalam sejarah Indonesia. Lahir di Jombang, Jawa Timur, pada tanggal 1 Juni 1914, Orangtua dari Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid ini dikenal sebagai santri yang progresif sejak muda.
“KH Wahid Hasyim muda di pesantren Tebu Ireng dikenal sebagai santri progresif. Dalam usia 19 tahun, dia sudah menawarkan pola pendidikan hybrid antara ilmu agama dan ilmu pengatahuan umum di pesantren.” Tutur Alissa Wahid dalam diskusi LP3ES bertajuk Pemikiran Politik Wahid Hasyim, Sabtu (24/4).
Menurut Alissa Wahid, hal itu lantaran keyakinan KH Wahid Hasyim bahwa masa depan umat Islam di Indonesia akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan atau kapasitasnya dalam menguasai ilmu pengetahun umum.
KH Wahid Hasyim pula yang mengenalkan pola pembelajaran klasikal yang sangat berbeda dengan pola pembelajaran umumnya di pesantren-pesantren pada masa itu.
Alissa Wahid menyebut, banyak sekali pembaharuan dilakukan oleh KH Wahid Hasyim di lingkungan pesantren. Bahkan pada masanya KH Wahid Hasyim juga memberikan ruang besar kepada pendidikan anak perempuan.
“Hal itu kemudian yang membawa dampak pada terbukanya kesempatan kepada perempuan untuk menjadi hakim agama untuk pertama kali (1950). Sesuatu yang tidak pernah diizinkan di negara-negara muslim yang lain ketika itu,” kata Alissa.
KH Wahid Hasyim juga menjadi yang pertama memperkenalkan pendidikan bahasa non-Arab di Tebu Ireng. Kemudian oleh KH Hasyim Asy’ari, dia diizinkan untuk membuat madrasah terpisah guna memperdalam pengetahun santri dalam ilmu pengetahuan umum.
Ulil Abshar Abdalla, yang juga sebagai pembicara dalam diskusi itu, menyebutkan bahwa dalam historiografi penulisan sejarah Indonesia awal abad 20, narasi kebangkitan nasional lebih menonjolkan peran dari kaum intelegensia muda Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah Belanda seperti HIS, STOVIA, dan lain-lain.
Menurut Ulil sejarah tersebut kurang seimbang, sebab menafikan peran kalangan terdidik Islam yang non Belanda, dan di antaranya diwakili oleh sosok KH Wahid Hasyim.