Tapi, apa boleh buat, “Bayangkan, t-i-g-a p-u-l-u-h tahun. Apa yang terjadi? Batu-batu meleleh, pohonan jadi bara. Rumput-rumput terbakar, tanah jadi pasir. Hutan gundul, ndul. Kering, ring. Tak ada air, tak ada hijau-hijauan.”
Bahkan di penghujung kekuasaan Soeharto, sebagaimana juga diungkap dalam pengantar, merebak penyakit kronis yang tak tersembuhkan hingga hari ini, KKN. Dapat diperiksa di Wabah Bisul.
Ya, apa pun itu, kini sang tiran itu, yang berkuasa selama 32 tahun, tinggal cerita. Betapa negeri ini pernah memiliki seorang penguasa tunggal mahasakti, begitu digdaya. Dan, sang kancil yang superpintar pun, tatkala ke istana harus dengan dandanan khusus. Lehernya terbungkus halsdoek, di tangannya terdapat selembar saputangan yang sebentar-sebentar mampir ke hidungnya. Jebres, jebres!
Akhirnya, dari Kuburan Srikandi vs Kuburan Kerajaan, kita mengerti bahwa kekuasaan di dunia ini tak ada yang abadi. Kekuasaan, siapa pun itu, akan mengalami erosi.
Begitulah, saya sungguh menikmati 89 fabel Kuntowijoyo itu sebagai kode, dan simbol peristiwa di balik tirani Orde Baru. Terkesan kocak dan penuh drama komedi akhirnya, tapi tetap sebagai sindiran tajam. Dan, memang demikian Kuntowijoyo.