Radhar Panca Dahana (RPD) dikenal sebagai penyair, cerpenis, eseis, dan budayawan yang kerap bicara politik kebudayaan. Dia alumni Forum Puisi Indonesia 1987 Taman Ismail Jakarta (TIM) Jakarta.
Itu sebabnya saat awal mengelilingkan buku puisi pertamanya, “Lalu Waktu” (1994), dia sekaligus bersilahturahmi dengan teman-teman sealumni. Antara lain di Semarang, dia juga meminta kepada saya untuk bertemu dengan penyair Timur Sinar Suprabana.
Lanjut buku-buku puisinya terbit dalam judul Lalu: Lalu Batu, Lalu Aku, Lalu Kau. Lalu buku tentang teater, antara lain didiskusikan di TBS Solo dengan pembicara Halim HD dan Eko Tunas.
Dia juga aktif di teater sejak muda, sebagai penulis skenario dan sutradara. Tak aneh penampilan baca puisinya selalu teateral, menarik. Termasuk orasi dan baca puisinya di Kompas TV atau Metro TV, cukup menjadi sajian sastra budaya yang menarik bagi khalayak.
Perhatiannya terhadap dunia kelautan dan kemaritiman membuat esai-esainya banyak dimuat di berbagai media massa dan menjadi topik menarik dalam acara sosial-budaya di dua TV tersebut. Bagi Radhar persoalan terbesar negeri kepulauan bukan hanya daratan di pulau-pulau se-Nusantara, tapi bagaimana pengelolaan lautan yang luas dan sistem kemaritimannya.
Ada cerita menarik saat dia mengelilingkan buku puisi Lalu Waktu dan singgah menginap di rumah saya. Dalam satu obrolan ngalor-ngidul, secara spontan saya meramal nasibnya sebagai jomblo. Dengan sedikit berekting, melalui garis tangannya saya baca: kamu akan menikah dengan biduan dangdut.
Tentu saja dia tertawa ngakak disertai misuh hebat.
Akan tetapi saat kami kemudian bertemu di TIM, dia menggaplok lalu memeluk saya sambil membisiki, “ramalanmu benar…”
“Apa?”
“Aku menikah dengan penyanyi dangdut.”
Persahabatan saya dengan Radhar seintens persahabatan saya dengan Afrizal Malna. Tak aneh tiga kota yang punya arti tersendiri bagi kami – Jakarta, Tegal, Semarang – cukup menjadi kota alumni. Termasuk di Slawi, saat Radhar kami antar bicara di acara diskusi seni di Sanggar Asah Manah Dyah Setyawati.
Radhar dan Afrizal boleh dikatakan dua matahari Jakarta di bidang seni dan sastra. Akan tetapi kami tidak pernah bertemu bertiga di kota-kota alumni itu. Tiap pertemuan saya dengan salah seorang matahari itu seolah hendak menyimpulkan bahwa: matahari selalu bersinar sendirian. Demikian, dua matahari bersinar di mana pun, dalam setiap acara yang punya arti tersendiri bagi kami dan daerah-daerah tersinggahi.
Dari acara yang sebutlah “pertemanan”, tepat kiranya kalau dikatakan Radhar adalah pejuang kebudayaan. Bagaimana dia tidak hanya tampil di ruang-ruang terhormat, TV, di pusat-pusat kebudayaan dan kesenian, tapi juga blusukan ke kampung-kampung.
Adapun yang mengharukan pada perjalanan Radhar ialah, saat ia mulai mengalami persoalan pada ginjalnya. Setiap pekan dia mesti dua atau tiga kali cuci darah. Makan dan terutama harus terkontrol dan terukur. Misalnya untuk asupan air putih hanya sebotol ukuran setengah liter per-hari.
Namun demikian halangan besar itu tak menyurutkan gerak aktivitasnya. Misalnya saat ada acara di Semarang dia menelpon saya, “Ko, aku ada acara di Semarang bersamaan jadwal rutinku cuci darah. Tolong aku minta info rumah sakit yang bisa untuk cuci darah ya…”
Sampai kemudian malam itu saya mendapat WA dari Lukni Maulana: Radhar Panca Dahana meninggal dunia.
Selamat jalan, sahabat, nanti kita pasti bertemu lagi.***