Scroll untuk baca artikel
Blog

Sengkarut Demokrasi Pasca-Reformasi

Redaksi
×

Sengkarut Demokrasi Pasca-Reformasi

Sebarkan artikel ini

Korupsi dan Pembusukan Demokrasi

Pasca lengsernya Soeharto dari kursi kekuasaan, agenda demokratisasi mulai tumbuh. Partai politik, LSM kritis, Pers dan juga organisasi pro demokrasi memantapkan eksistensinya. Disamping itu tidak kalah penting, penegakan nilai-nilai demokrasi, seperti kebebasan berkumpul, berpendapat dan berserikat memperoleh perlindungan hukum dari negara.

Namun apa yang tampak kemudian ialah, gelombang demokratisasi itu ternyata memberi celah bagi konsolidasi elite predator menjarah semua sumber daya kekuasaan negara. Parahnya, penegakan hukum yang kuat justru lemah di hadapan kekuatan predator korup. Sialnya, kekuatan dari bawah justru gagal mentransformasikan diri ke dalam satu aliansi melawan praktik yang koruptif dan klientelistik.

Alhasil, demokrasi di Indonesia lebih banyak melapangkan jalan bagi pembentukan kelas elite, ketimbang memperkuat jaringan masyarakat sipil yang kritis.

Sebaliknya, partai politik sebagai pilar demokrasi kerap kali disabotase oleh kepentingan politisi korup yang memanfaatkan parpol sebagai tiang penyanggah memperkuat dan mempertahankan dominasi dan praktik koruptifnya. Beberapa partai politik pasca reformasi, sebagaimana temuan Ambardi (2009) justru terjebak ke dalam permainan kartel yang semakin menjauhkan parpol dari konstituennya.

Disamping itu pula, platform partai dan ideologisasi yang diusung parpol tidak tampak dominan, alih-alih disegregasi ke dalam kepentingan ekonomi politik politisi berwatak korup. Kecenderungan lain yang bahkan muncul belakangan ialah, partai politik kerap dimaknai sebagai kendaraan politik, bukan sebagai fungsi politiknya, artikulasi kepentingan, komunikasi politik dan rekrutmen dan pendidikan politik.

Karena itu dinamika demokrasi yang kerap menjengkelkan ini melahirkan praktik korupsi. Hasilnya, demokrasi di Indonesia mengalami pembusukan sebagai akibat dari penegakkan politik hukum korupsi yang tebang pilih, tata kelola dan manajemen kebijakan yang kerap bermasalah dan anggaran negara/daerah yang dipergunakan tidak jelas.

Disinilah masalahnya, LSM, masyarakat sipil yang kritis dan pers justru gagal mengakomodasi satu aliansi yang mampu menandingi kekuatan kelas dominan. Merebaknya kasus korupsi, baik pada birokrasi negara, peradilan dan partai politik mengarah pada merosotnya kualitas demokrasi di Indonesia.

Merosotnya kualitas demokrasi di Indonesia sudah tentu merupakan penyebab utama dari merebaknya praktik korupsi pada instansi negara. Bahkan, pembentukan lembaga penanganan korupsi pada tahun 2003, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nyatanya ‘kurang’ memberi harapan terhadap penegakan kasus korupsi.