Scroll untuk baca artikel
Blog

Sepenggal Riwayat Mei Shin – Cerpen Risen Dhawuh Abdullah

Redaksi
×

Sepenggal Riwayat Mei Shin – Cerpen Risen Dhawuh Abdullah

Sebarkan artikel ini

SUDAH puluhan purnama perempuan itu terpisah dengan anaknya. Selama itu pula, rindunya menjadi semak, menjadi tempat persembunyian perasaan yang bernama kesepian. Dan ia tidak pernah menyangka, akan tiba pada hari di mana ia bisa memangkas semak itu. Padahal ia sudah seperti tidak punya harapan terhadap anaknya.

Perempuan itu patut berterima kasih kepada suaminya sendiri, yang telah mempertemukan dirinya dengan darah dagingnya. Beberapa bulan sejak perempuan itu melahirkan anaknya, ia harus terpisah, tubuhnya ditelan jurang akibat pukulan mematikan seorang pendekar kepercayaan Prabu Jayakatwang—ketika itu pendekar itu bersama dengan beberapa prajurit. Sementara itu anaknya, Ayu Wandira dibawa pergi Panji Ketawang, yang tidak lain adalah keponakan suaminya. Memang sebelum pendekar dari Kediri itu datang dengannya adu kesaktian, perempuan itu telah menyuruh Panji Ketawang untuk pergi dengan membawa Ayu Wandira—ia sudah mengetahui kalau ada segerombol orang dari kerajaan yang datang menuju kediamannya.

Ia hampir tidak bisa diselamatkan, untungnya ada seorang tabib yang menemukan dirinya, kemudian perempuan itu diobati. Sang Hyang Widi menunjukkan kekuasaannya, perempuan itu sembuh meski di lengan kirinya menyisakan bekas lingkaran berwarna hitam akibat pukulan pendekar itu.

Kala ia jatuh ke jurang, Nini Ragarunting dan Kaki Tamparoang menolong Ayu Wandira dan Panji Ketawang. Mereka mengamankan Ayu Wandira dan Panji Ketawang. Semula perempuan itu tidak yakin kedua anak kecil itu akan selamat dari kejaran prajurit-prajurit yang mencoba menangkap mereka. Hal paling buruk yang terjadi adalah keduanya mati.

Adapun, suami perempuan itu sempat mempunyai dugaan kalau ia telah tiada. Tetapi di tengah dugaan itu terselip keraguan. Ia tetap mencari, ditemani seorang pendekar yang jatuh cinta padanya; Sakawuni. Gadis itu menemani pujaan hatinya mencari perempuan itu dengan penuh kecemburuan. Pada akhirnya, lelaki itu putus asa karena tidak kunjung menemukan dan menerima Sakawuni. Ia menikahi Sakawuni.

“Aku memang sedikit menyesalkan kepergianmu waktu itu, Kakang,” kata perempuan itu dalam hatinya, sembari memeluk anaknya yang telah kembali padanya. “Tapi rasanya tidak adil, bila aku mencegah keinginanmu untuk mengabdikan diri kepada Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana.”

Sebelum perempuan itu melahirkan anak yang kini ada dipelukannya, ia sempat bersusah payah membelah hutan-hutan untuk menghindari kejaran antek Prabu Jayakatwang—perempuan itu menjadi buronan kerajaan Kediri—dengan dibantu Nini Ragarunting dan Kaki Tamparoang. Kedua orang itu pulalah yang kemudian mempertemukan dengan suaminya. Suaminya membawa keponakannya—ia yang merawat Panji Ketawang, mereka hidup bersama di lereng Gunung Arjuna—tempat itu pada awalnya dianggap aman—hingga suatu hari suaminya meminta izin untuk pergi ke istana Majapahit. Walau berat, perempuan itu melepaskan kepergian suaminya.

“Andai saja waktu itu kau tidak pergi, tentu hatimu tidak harus dibagi. Kuakui aku membohongi diriku sendiri, berpura-pura menerima keadaan di hadapanmu, dan seolah aku tidak membutuhkan kehadiranmu di depan Sakawuni,” kata perempuan itu dalam hati.

Sebelum lelaki itu kembali meninggalkannya setelah menyerahkan Ayu Wandira padanya, masih terngiang jelas bagaimana kereta kuda yang membawa Sakawuni, Nini Ragarunting, Panji Ketawang, dan Ayu Wandira memasuki halaman kediamannya. Suami perempuan itu datang lebih dulu dibandingkan mereka—tiba di pondokannya pada malam hari. Kedatangannya memastikan keadaan perempuan itu karena menurut laporan dari Ra Tanca—tabib istana Majapahit atau adik angkat perempuan itu—istrinya hendak dibunuh oleh orang-orang Majapahit akibat tak mau menerima penghargaan dari Prabu Kertarajasa Jayawardhana, sebab telah menyembuhkan Sang Baginda.