BARISAN.CO – Pemerintah dan DPR akhirnya sepakat dalam memandang pentingnya RUU TPKS. Pada Selasa, 4 Januari 2022 kemarin, Presiden Indonesia melakukan public address di Istana Negara di mana ia menekankan perlunya percepatan agar RUU ini segera sah.
“Saya memerintahkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk segera koordinasi dengan DPR dalam pembahasan RUU TPKS agar ada langkah-langkah percepatan,” ujar Presiden.
Saat ini, RUU TPKS terhenti pada tahap penyusunan di legislasi. RUU ini masih harus melewati 4 tahap lagi yaitu harmonisasi, penetapan usul, pembahasan, dan keputusan, sebelum akhirnya ia resmi menjadi undang-undang.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, menanggapi ucapan Presiden kemarin, menyatakan RUU TPKS bakal segera dibawa ke Badan Musyawarah agar dapat dibahas bersama pemerintah.
Namun, sementara proses di Senayan sedang berlangsung, publik telanjur geram lantaran dibuat menunggu terlalu lama.
Apalagi, bukan kali ini saja DPR berjanji demikian. Ingat, Desember 2021 kemarin, DPR juga mengembuskan janji yang sama, dan fakta justru bergerak ke arah lain: RUU TPKS gagal disahkan menjadi RUU inisiatif DPR RI pada 2021.
Hal itu terjadi lantaran Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR tidak mengagendakan pembahasan RUU TPKS untuk dibawa ke Rapat Paripurna DPR terakhir di 2021 yang berlangsung pada Kamis (16/12/2021). Padahal, rapat tersebut adalah paripurna terakhir di 2021 karena DPR akan melakoni reses per 17 Desember 2021 hingga 10 Januari 2022.
Sementara itu, menurut catatan Komnas Perempuan terakhir, jenis kekerasan terhadap perempuan semakin menjadi-jadi. Kekerasan yang paling menonjol berada di ranah pribadi, yaitu sebanyak 79% (6.480 kasus).
Di antaranya terdapat kekerasan terhadap istri (KTI) menempati peringkat pertama 3.221 kasus (49%); disusul kekerasan dalam pacaran 1.309 kasus (20%); kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 954 kasus (14%); sisanya adalah kekerasan oleh mantan suami, mantan pacar, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.
Kekerasan di ranah privat patut digarisbawahi sebab, dari total laporan kekerasan privat yang diterima, hanya sepertiganya saja yang berhasil diselesaikan secara hukum. Selebihnya kasus lebih banyak diselesaikan secara non-hukum baik itu lewat mediasi keluarga, ketua RT, tokoh masyarakat dan agama, serta penyelesaian adat.
Di sisi lain, kasus kekerasan seksual terus berulang dengan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah tersebut boleh jadi membawa isyarat bahwa semakin banyak korban yang berani melaporkan kasusnya kepada pihak berwajib.
Tetapi, jumlah laporan adalah satu hal, sementara angka kekerasan seksual yang sesungguhnya bisa jadi berkali lipat lebih besar.
Banyak faktor mengapa korban enggan melaporkan kekerasan yang dialaminya. Dan di sinilah pentingnya RUU TPKS disahkan untuk memberi kepastian hukum kepada hukum.
“Saya berharap RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini segera disahkan sehingga dapat memberikan perlindungan secara maksimal bagi korban kekerasan seksual di Tanah Air,” kata Presiden Joko Widodo, melanjutkan.
Syukur bila harapan presiden sama dengan harapan publik. Tetapi, kita tidak boleh lupa bahwa Pak Jokowi bukan hanya presiden yang kerjanya cuma bisa berharap. Ia bisa mengatur, dengan segala macam perangkat yang dimilikinya, untuk memastikan bahwa RUU TPKS bisa benar-benar selesai secepatnya. [dmr]