Oleh: Fatkhurrahman*
Melalui sebuah foto, Presiden Amerika Serikat Joe Biden tampak tertangkap kamera ketika mencium istrinya Jill Biden. Foto ini jadi satu foto ‘kuat’ yang tampil dalam rangkaian rekaman momen pergantian kepemimpinan, setelah Donald Trump lengser.
Amerika Serikat disoroti karena adanya aksi demontrasi yang diwarnai kekerasan sampai mengakibatkan korban jiwa. Foto kemesraan pemimpin negara tentu mendinginkan suasana politik yang menghangat di negara adikuasa.
Melalui foto, publik bisa membuat aneka tafsir pesan sendiri, di luar pesan utama yang ingin disampaikan oleh tokoh, public figure. Foto berciuman pemimpin negeri, pejabat negara tentu tak lazim di negara lain. Sebab ada budaya dan alam pikir yang berbeda. Apalagi kalau misalnya, dilakukan oleh pemimpin di nusantara untuk mengekspresikan rasa kasih sayang, rasa cinta.
Alih-alih memberikan pesan cinta, foto ala Joe dan Jill Biden bisa bawa narasi jauh berbeda, jika dilakukan oleh pemimpin di negara lain. Apalagi di era meme dan twitt war medsos zaman digital ini.
Budaya berciuman di Amerika Serikat dan negara liberal yang lain, dilakukan untuk menunjukan romansa, rasa cinta pemimpin kepada sosok terdekatnya. Mewakili kecintaan kepada negara dan rakyatnya.
Foto-foto natural, foto bercerita yang menempatkan public figure adalah satu foto yang biasa jadi konsumsi publik. Bukan hanya sekedar ilustrasi atau pelengkap berita, foto portrait seorang tokoh misalnya bisa bawa impresi pesan kuat.
Wajah Presiden yang tertunduk lelah di meja kerja istana (sepengetahuan saya, belum menemukan momen begini di tanah air) tentu akan memberikan kabar tafsir beraneka rupa. Soal kondisi negara.
***
Sikap tubuh tokoh politik, apakah mencerminkan sikap politik?
Semua mahfum, foto adalah bagian tools pesan dalam propaganda. Keberadaan foto portrait Presiden Mao, China di masa lalu jelas sekali tujuan propaganda yang ingin disampaikan.
Rakyat harus memiliki kecintaan kepada negara, kepada pemimpin. Ini ditujukan bukan hanya ke dalam negeri tapi pesan untuk negara lain betapa kuatnya kepemimpinan Mao, kala itu.
Sezaman dengan model propaganda sejenis, melalui foto tokoh dalam aneka pose, juga teknik manipulasi ruang kamar gelap, untuk penciptaan citra diri tokoh, banyak dibuat foto dalam ukuran besar.
Propoganda kekuatan tokoh lewat foto, mengaitkan citra diri pemimpin model begini jelas masih dianggap efektif sampai sekarang. Berwujud baliho besar, spanduk hingga meme di era digital.
Sikap tubuh dan atribusi simbol kebesaran dengan aneka bintang jasa jamak ditemui dalam foto portrait tokoh di berbagai era. Sebelum teknologi fotografi ditemukan, lukisanlah yang dipakai untuk menunjukkan kuasa. Lukisan raja-raja di dalam istana misalnya.
Presiden RI, Ir Soekarno juga memanfaatkan foto untuk bawa pesan kepada publik. Semua mengingat bagaimana pose foto kala Presiden Soekarno merangkul Jenderal Soedirman. Foto yang konon peristiwanya perlu diulang untuk diambil rekaman foto terbaik telah jadi bagian sejarah negeri ini.
Aneka pose foto proklamator RI, menjadi sumber sejarah penting. Bukan hanya dalam bingkai foto resmi semata tapi beragam foto dengan pose dan sikap tubuh Soekarno bisa terlacak bagaimana pemimpin pertama Republik Indonesia itu bisa berada dekat di hati banyak pemimpin negara lain. Akrab dengan pemimpin dunia dan memiliki kedekatan dengan rakyatnya, dengan petani, dengan Marhaen.
Di zaman Gus Dur, fotografi tokoh atau elit lebih berwarna, berbeda dari kelaziman. Apalagi kala ada moment Gus Dur hanya bercelana pendek di beranda istana, harus berhenti melepaskan kekuasaan karena dimakzulkan. Di momen yang lain, banyak Gus Dur yang apa adanya, tampil sebagai sosok nahdliyin, pemimpin juga intelektual, penceramah sekaligus sosok kiai terekam di banyak bingkai foto.