Scroll untuk baca artikel
Lingkungan

Sinyal Buruk Tata Kelola Sampah

Redaksi
×

Sinyal Buruk Tata Kelola Sampah

Sebarkan artikel ini

BARISAN.COLewat program ‘Indonesia Bersih Sampah’ yang dicanangkan sejak 2017, pemerintah menarget 100% sampah akan terkelola dengan baik dan benar pada tahun 2025. Rinciannya: terjadi pengurangan sampah sebesar 30% dan penanganan sampah sebesar 70%.

Target itu tertuang dalam Perpres No. 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional (Jaktranas) Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

Sejauh ini, menurut Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Novrizal Tahar, tren kapasitas pengelolaan sampah Indonesia meningkat setiap tahunnya.

“Secara tren kita mengalami peningkatan, walaupun kita harus mencapai tahun 2025 itu 100 persen,” kata Novrizal dalam konferensi pers peluncuran Gerakan Sedekah Sampah Indonesia (GRADASI), Jumat (30/4/2021), dikutip dari Antara.

Data KLHK menyebut, pada 2019 tingkat pengurangan sampah Indonesia telah mencapai 14,58 persen dan penanganan sampah sebanyak 34,60 persen. Itu menjadikan kapasitas pengelolaan sampah nasional berada di tingkat 49,18 persen.

Angka itu mengalami kenaikan pada 2020 dengan tingkat pengurangan sampah Indonesia mencapai 16,23 persen dan kemampuan penanganan 37,92 persen menjadikan total kapasitas pengelolaannya adalah 54,15 persen.

Novrizal sendiri mengakui masih ada jarak yang cukup lebar untuk mencapai target 100 persen pada 2025, sehingga diperlukan upaya luar biasa untuk menangani permasalahan sampah. Di sisi lain, meningkatnya kapasitas pengelolaan sampah itu menunjukkan tingkat partisipasi publik yang semakin meningkat.

Mendorong Partisipasi Publik

Tidak ada satu pihak pun yang bisa berjalan sendiri terkait proses penanganan sampah. Peran mulai dari individu, rumah tangga, komunitas, pemerintah, hingga dunia usaha dan sektor industri, penting untuk terus disinergikan.

Dalam konteks ini, amat penting pula untuk melihat seberapa jauh ketegasan regulasi pemerintah telah mengarahkan sampah pada tren perbaikan. Sebab bisa dibilang, pemerintah lah yang memiliki saham terbesar terkait pengelolaan lingkungan sebuah negara.

Meskipun, misalnya, sudah ada sekitar 40 daerah di Indonesia yang memiliki peraturan mengenai pembatasan dan pelarangan penggunaan kantong plastik, itu belum cukup menunjukkan adanya pengurangan signifikan. Jumlah sampah justru terus naik dari tahun ke tahun seturut populasi yang juga bertambah banyak.

Pada tahun 2018, Indonesia menghasilkan sebanyak 127.077 GgCO2e limbah—atau setara dengan 8% dari total emisi Gas Rumah Kaca (GRK) nasional. Dari total jumlah limbah itu 29,72% (37.765 GgCO2e) di antaranya merupakan sampah padat domestik dan 18,44% (23.432 GgCO2e) merupakan limbah cair domestik. Artinya, nyaris separuh limbah nasional datang dari rumah-rumah masyarakat.

Yang menjadi tantangan adalah bagaimana mengatur limbah-limbah itu agar sedemikian rupa sesuai dengan target Perjanjian Paris yang diratifikasi pemerintah pada tahun 2016. Dalam Perjanjian Paris, disebutkan bahwa Indonesia akan menurunkan emisi GRK limbah sebanyak 0,38% dengan usaha sendiri atau 1% dengan bantuan internasional pada tahun 2030.

Pemerintah perlu lebih mendorong partisipasi publik. Hari ini misalnya, menurut catatan KLHK, ada sekitar 11.239 unit bank sampah yang tersebar di 34 provinsi. Banyak dari bank sampah itu tumbuh secara swadaya di masyarakat.

Dikutip dari Kompas, bank sampah di Indonesia punya beragam variasi tergantung dari jumlah nasabah dan volume sampah yang dihasilkan setiap bulan. Hal itu memengaruhi omzet bank sampah yang juga berbeda-beda. Ada bank sampah yang beromzet Rp300 ribu per bulan dengan jumlah anggota sekitar 60 orang. Namun, ada juga yang omzetnya mencapai Rp8 juta dengan nasabah ratusan orang.