Scroll untuk baca artikel
Opini

Sowan

Redaksi
×

Sowan

Sebarkan artikel ini

Barangkali umat manusia sudah punah sejak lama kalau tidak ada sosok panutan. Demikianlah kenapa kita selalu rindu untuk kembali kepada ajaran dari guru-guru kehidupan kita, atau penuntun rohani kita, saat dihadapkan pada persoalan dunia dan akhirat.

Saya percaya kita semua memiliki panutan. Dan panutan saya, KH. Abdul Latif Madjid, berpulang ke Rahmatullah hari Senin kemarin, 23 November 2020. Beliau adalah pengasuh Ponpes Kedunglo Kediri. Dan tentu saja, kepergiannya membuat saya remuk oleh duka.

Sekeras apapun saya meyakinkan diri bahwa duka yang saya rasakan tidak akan panjang, semakin itu terasa sulit diwujudkan. Saya mungkin akan tetap berduka seumur hidup, sembari meyakini bahwa 68 tahun adalah umur yang terlalu cepat untuk ukuran beliau.

Dulu semasa di pesantren, sebagai santri biasa yang mengamati Kiainya lewat kesempatan-kesempatan biasa, saya selalu penasaran akan sebuah keinginan. Saya ingin sowan empat mata: berdua saja, antara guru dan murid, dari ucapan ke pemahaman, dari hati ke pengertian.

Saya selalu mendambakan hal itu terjadi. Saya ingin menanyakan banyak hal, mulai dari bagaimana saya harus menata masa depan saat dunia masih terhampar, sampai apa yang harus saya persiapkan sebelum nantinya dunia digulung Allah Swt.

“Bagaimanapun, beliau adalah guru dan saya ialah muridnya. Saya merasa berhak meminta setetes pencerahan atas itu, dan saya yakin beliau tidak berkurang apapun ketika menjawabnya,” pikir saya saat itu.

Setelah serangkaian waktu, singkat cerita, akhirnya momentum itu benar-benar datang. Hidup memberikan banyak masalah dan, pada saat itu, saya menjadi remaja tanggung yang pikirannya kusut tidak keruan. Saya percaya, diperlukan nasihat untuk membereskan pikiran kusut. Dan nasihat dari orang yang tepat harus diperjuangkan.

Atas itulah, di suatu pagi, saya memberanikan diri sowan ke beliau. Saya mengetuk pintu, melempar salam, dan tiba-tiba sudah duduk seruangan dengan beliau KH. Abdul Latif Madjid. Saya berusaha menguasai diri agar tidak gemetaran.

Jenengmu sopo, Le (Siapa namanu, Nak),” tanya beliau membuka percakapan.

Dalem Ananta Damarjati, Romo (Saya Ananta Damarjati, Romo).”

Wah, jenengmu apik (Namamu bagus)”

Seterusnya di dalam sana, saya banyak bercerita. Saya percaya cerita punya kekuatan memantapkan keyakinan. Dan saya meyakini akan mendapat jawaban terbaik. Beliau mendengar dengan seksama.

Awakmu kurang tenanan. Nek wani nduwe kekarepan kuwi kudune wani diperjuangke (Kamu kurang bersungguh-sungguh. Kalau berani bercita-cita harusnya berani diperjuangkan)” tanggapan beliau singkat, setelah mendengar beberapa penggal cerita saya.

Sejak itu saya menyadari bahwa peran sosok panutan itu bisa sedemikian besar dan mendasar bagi hidup seseorang. Tanggapan beliau mungkin singkat. Akan tetapi, soal kesungguhan memang masalah terbesar bagi saya. Dulu begitu, sekarang begitu.

Bedanya, setelah keluar dari ruangan beliau, saya sudah punya jangkar yang bisa diingat untuk menghadapi banyak hal: saya harus bersungguh-sungguh, apapun.

Beliau juga menanggapi satu per satu masalah yang saya ceritakan dengan mengesankan. Saya pun diberi anjuran untuk mengamalkan doa-doa tertentu setiap selesai salat. Alhamdulillah masih saya lakukan, dan insyaallah akan saya lakukan seterusnya.

Sekarang, sowan lahir itu tidak lagi bisa dimungkinkan. Beliau sudah pergi dan meninggalkan banyak sekali amal salih bagi banyak sekali orang. Innalillahi wa innailaihi rajiun. []