Barisan.co – Pandemi telah berjalan memasuki bulan ketujuh, sektor UMKM pun tak dapat menghindari risiko PHK karyawan hingga gulung tikar akibat situasi saat ini.
Halimah, salah satu pelaku UMKM di Jakarta kini beralih dari usaha dagang mustopa (kentang kering) dan kue kotak menjadi ayam geprek dan buah musiman.
“Kalau sebelum pandemi, kue kotak tiap minggu bisa sampai 250 kotak. Sekarang benar-benar ga ada. Paling pie aja, tapi itu juga ga tiap minggu. Jadi tergantung pesanan sekarang. Makanya fokusnya ke geprek karena sehari bisa empat sampai 5 ekor,” ujar Halimah kepada tim Barisan.co, Rabu (14/10).
Halimah menambahkan jika ia pun mengubah media promosi yang sebelumya melalui Instagram dan grup whatsapp, kini hanya melalui grup whatsapp ibu-ibu.
“Karena jarak sih jadi diubah media promosinya,” paparnya.
Halimah menyampaikan jika usaha ayam gepreknya awal dari keisengannya. Namun karena teman-teman dari ibunya sering pesan, Halimah pun memilih untuk menjualnya.
“Berdagang itu membuka 9 pintu rezeki, buat saya kalau ada kesempatan jadi duit, ambil,” ujar perempuan yang berdomisili di Jakarta Timur tersebut.
Berbeda dengan Halimah yang sudah lebih lama berdagang, Ziah baru memulai usahanya beberapa bulan setelah pandemi Covid-19 karena nekat.
“Aku jualan kurma ajwa Madinah dan pengharum ruangan aroma haramain. Baru mulai pertengahan pandemi karena modalnya sudah ada dan dinekatin untuk memulai. Karena kalau tidak dimulai sekarang, khawatir terpakai lagi uangnya untuk yang lain,” pungkas Ziah.
Apa yang dilakukan oleh Ziah dan Halimah sesuai dengan paparan Lukman Hakim di acara mimbar virtual Selasa (13/10), mengenai bisnis by accident. Baik Halimah dan Ziah, bisnis keduanya lahir tanpa rencana jauh-jauh hari. Dapat pula dikatakan bisnis mereka hanya dijalankan dalam kerangka bertahan di masa sulit.
Hal itu telah menjadi fenomena di banyak tempat. “Setiap krisis ekonomi, termasuk dalam Pandemi ini, kita melihat fenomena UMKM sebagai katup pengaman. Ini berarti melihat UMKM hanya sebagai by accident (karena kecelakaan)” Kata Lukman Hakim.
Pandangan demikian, menurut Lukman, juga menjadi cara pemerintah memandang UMKM pada umumnya. Selama ini pengelolaan UMKM belum terarah secara by design.
“Sampai sekarang UMKM tetap dipandang (oleh pemerintah) sebagai by accident. Tidak ada insentif yang memadai untuk menjadi pelaku UMKM seperti insentif pajak dan kredit. Integrasi kebijakan antara K/L juga tidak jalan seperti yang di harapkan,” kata Lukman.
Lukman menyarankan, agar semestinya UMKM dipandang lewat paradigma baru yakni by design. “Jadi UMKM memang didesain untuk diciptakan bukan terlahir dari kecelakaan karena resesi ekonomi … Jadi dibina sejak kecil, menjadi menengah hingga besar.”
Data Kemenkop-UMKM menyebutkan, hingga 2018, jumlah UMKM di Indonesia mencapai 64,35 juta unit. Sebanyak 98,7 persen di antaranya masih merupakan usaha mikro dengan aset masing-masing kurang dari Rp50 juta dan omzet maksimal Rp300 juta/tahun.
Dengan paradigma by design, Lukman menilai, akan mendorong UMKM memiliki daya saing yang lebih besar. Bahkan paradigma itu akan sangat mempercepat proses UMKM mewujudkan impian act locally impact globally.
Perlu upaya pemerintah untuk mengintegrasikan UMKM dalam skema besar perekonomian bangsa. “Pemerintah dengan anggarannya mempunyai kapasitas untuk melakukan kerjasama dengan PT, swasta, technopark, dan lainnya,” ujar Lukman.