Scroll untuk baca artikel
Blog

Suara – Cerpen Muhammad Lutfi

Redaksi
×

Suara – Cerpen Muhammad Lutfi

Sebarkan artikel ini

“Memangnya kenapa?”

“Pria gila yang kalian lihat itu tadi punya masa lalu yang sangat kelam.”

“Hah…?”

“Dia itu mantan pembunuh. Orang yang membantai istrinya sendiri secara kejam. Dulu dia orang waras seperti manusia normal. Dia menikah, tetapi tidak dikaruniai seorang anak. Dia orang yang menjadi bandar judi dan narkoba. Dia kerap kali masuk penjara. Setiap hari pekerjaannya mabuk dan maling.”

“Lalu…?”

“Lalu, pada saat itu tepat tengah malam. Terdengar suara teriakan di sebuah rumah. Seorang wanita telah tewas bersimbah darah. Lelaki itu yang membunuhnya. Wanita yang dibunuh itu adalah istrinya sendiri. Dia lalu dipenjara. Setelah pulang dari penjara, dia menjadi orang yang kurang waras. Selalu menangis dan menggedor-gedor pintu. Mungkin saja dia tidak bisa melupakan beban membunuh istrinya itu.”

“Jadi, begitu ya ceritanya. Pantas dia menangis terus!”

Kami pandangi jagung yang kami makan. Menambah keinginan kami untuk melahap habis jagung tersebut. Pedagang jagung tersebut memberi kembali kami, empat buah jagung bakar. Dia berikan secara cuma-cuma pada kami.

“Wah… tidak bisa bayar kami, Kek, kalau 8 buah jagung bakar!”

“Siapa yang suruh kalian bayar!?”

“Kami kan sudah memakannya!”

“Kalian tidak minta jagung itu padaku.”

“Karena itu, karena sudah kami makan jagung ini, kami harus membayarnya!”

“Aku tidak minta kalian untuk membayar jagung yang sudah kuberikan pada kalian!”

Pedagang jagung itu baik sekali. Dia berikan pada kami 8 buah jagung bakar secara cuma-cuma. Ketika aku ingin menolak karena kami tak punya uang untuk membayarnya, dia justru tidak minta jagung tersebut dibayar.

“Lain kali, kalau ke sana hati-hati!”

“Ke sana yang mana, Kek?”

“Gedung itu!”

“Hanya ada orang gila.”

“Banyak setan di sana!”

“Memang gimana cirinya setan, Kek?”

“Dia bisa menghilang dan berbau menyan!”

Setelah pedagang jagung itu berkata seperti itu pada kami, ada sebuah tusukan udara dingin yang mencekam. Udara yang mengerikan dan begitu sangat mencekam kembali.

Kami berkumpul di keramaian, tetapi udara dingin dan mencekam itu terasa memeluk kami. Bukan hanya aku yang merasakannya, tiga orang yang bersamaku juga merasakannya.

Selang beberapa lama, muncul bau kemenyan. Bau yang menusuk hidung. Kami makan kembali jagung bakar tadi. Jagung bakar yang kami makan, berubah menjadi tusuk sate.

Aku percaya, yang kami makan tadi memang jagung bakar, tiba-tiba berubah menjadi tusuk sate. Seketika juga, pedagang jagung bakar tersebut menghilang dari pandangan kami.

Sekejap mata, tidak ada dia dan jagung-jagung yang bersamanya. Bau kemenyan semakin menyengat. Yang kami jilat dan kami makan ternyata bukan sebuah jagung bakar. Ternyata hanya sebuah kayu tusuk sate.