Scroll untuk baca artikel
Blog

Subur-suburlah Premanisme Dipelihara Negara

Redaksi
×

Subur-suburlah Premanisme Dipelihara Negara

Sebarkan artikel ini

“Komparasi tersebut mempertegas bahwa ada ketergantungan antara penyedia jasa keamanan swasta dengan negara.” Kata Masaaki Okamoto.

Di Indonesia, kelompok kekerasan informal juga bersifat sangat kuat. Mereka berasal dari keterlibatan lintas partai dan tumbuh subur setelah masa demokrasi.

Pasca reformasi, kelompok kekerasan mulai mengakar utamanya di kota-kota besar. Legalisme kelompok dan aksi penegakan hukum yang bersifat vigilante pun semakin diperkuat oleh regulasi pemerintah. Terbaru, ada peraturan kepolisian tentang pam swakarsa pada tahun 2020.

Respons pemerintah terhadap kemunculan berbagai kelompok kekerasan atau premanisme pun ada banyak. Di antara kelompok kekerasan ini, ada yang dijadikan profesi melalui organisasi keamanan. Ada preman yang dijadikan pendukung tugas kepolisian. Ada yang dibiarkan untuk melakukan pembubaran. Ada pula yang dibiarkan berpartisipasi dalam politik aktif.

“Salah satu kelompok yang sukses melakukan partisipasi politik aktif adalah Pemuda Pancasila yang pada Pemilu 2019 mendukung Jokowi. Kelompok ini mengusai koneksi multilateral ekonomi politik, serta menduduki tempat-tempat krusial dalam tatanan masyarakat dan negara.” Kata Masaaki Okamoto.

Premanisme di Internet?

Jangan salah, premanisme juga tecermin dalam politik digital di Indonesia. Penelitian LP3ES, Universitas Diponegoro, dan University of Amsterdam, menemukan bahwa pasukan siber yang mendukung kebijakan new normal, Omnibus Law, dan Pilkada Serentak 2020, ternyata juga dikerahkan dengan cara barbar layaknya preman di dunia nyata.

Dalam platform Twitter, misalnya, para preman digital banyak melakukan tweet-war pada isu politik nyaris apapun. Fenomena tweet-war ini dilakukan melalui bahasa yang kasar dan vulgar, baik itu dilakukan oleh buzzer yang pro maupun kontra pemerintah.

Sialnya, pemerintah dalam beberapa kasus justru mendukung narasi politik yang muncul dari tweet-war tersebut. Sementara di kasus lainnya, tweet-war dengan konteks politik—yang kebanyakan mengarah pada hoaks—dibiarkan berkembang begitu saja.

Pasukan siber yang mendukung kebijakan bermasalah merupakan refleksi premanisme digital. Tidak hanya itu, ada pula serangan siber yang muncul dari aktivisme digital dalam bentuk spam call dari nomor telepon luar negeri, peretasan akun sosial media, dan juga doxing.

Kasus-kasus teror siber ini tidak terekspos di media, sehingga publik tidak menyadari adanya bahaya dari premanisme digital dalam aktivisme di era digitalisasi. Di sisi lain, kita juga menyaksikan bentuk premanisme digital dengan cara teror terhadap aktivis pro demokrasi. Negara justru membiarkannya bahkan terkesan mendukungnya.